Minggu, 01 Mei 2011

BAHASA

Pengertian Bahasa
Batasan pengertian bahasa yang lazim diberikan, yaitu bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1982:17 ).
Beberapa hal yang menarik yang dapat disimpulkan dari batasan pengertian itu adalah :
a. Bahasa merupakan suatu sistem 
b. Sebagai sistem, bahasa bersifat arbitrer,dan
c. Sebagai arbitrer,bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi,baik dengan orang lan maupun dengan diri sendiri.
Sebagai sistem, bahasa memiliki komponen-komponen yang tersusun secara hierarkis. Komponen ini meliputi komponen fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis. Sesuai dengan keberadaanya sebagai suatu sistem, masing-masing komponen tersebut saling memberi arti, saling berhubungan dan saling menentukan. 
Pada sisi lain, setiap komponen juga memiliki sistemnya sendiri. Sistem pada tataran bunyi, misalnya dikaji dibidang fonologi, pada tataran kata dikaji bidang morfologi,dan kajian sistem pada tataran kaliamat menjadi wilayah sintaksis. Sebagai subsistem, masing-masing komponen tersebut juga telah  mengandung aspek semantis tertentu sehingga secara potensial dapat disusun dan dikombinasiakn untuk digunakan dalam komunikasi. Sistem yang mengatur hubungan makna dalam lambang kebahasaan maupun hubungan makan dalam lambang denagn dunia luar bahasa menjadi lambang kajian semantik.
Dari kenyataan bahwa nahasa merupan sesuatu yang bersistem, maka bahasa sebenarnya, selain bersifat arbitrer, sekaligus juga nonarbitrer. (Bolinger,1981: 9)
Dengan terdapatnya sistem dan sekaligus kesepakatan itulah, bahasa akhirnya dapat digunakan untuk berinteraksi. Pemakaian bahasa dalam interaksi, lebih lanjut juga membuahkan sejumlah ciri lain. Hal itu terjadi karena bahasa bukan satu-satunya alat yang digunakan dalam bentuk komunikasi . Di luar bahasa masih ada tanda-tanda lain, baik berupa morse, rambu-rambu lalu lintas, lambang-lambang matematis, dan sebagainya. Dengan mengkaji perbedaan antara lambang kebahasaan dengan karakteristik lambang lain di luar bahasa,dapat diketahui bahwa bahasa memiliki ciri - ciri tertentu yang bersifat khusus.

Kamis, 28 April 2011

SEMANTIK

Semantik yang berasal dari bahasa Yunani , mengandung makna to signify  atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian "studi tentang makna". Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari Linguistik. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer,1981 : 5)

SEJARAH SEMANTIK

Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah "makna" lewat batasan pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil yang mengandung makna". Dalam hal ini Aritoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal. (Ullman, 1977: 33). Bahkan Plato (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna makna tertentu.
Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna, belum jelas.
Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni (1) Semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) Sintaksis, studi tentang kalimat serta (3) Etimologi, studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini Semantik belum digunakan meskipun studi tantangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh Ullama tersebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang di istilahkannya dengan underground period
Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1833), seorang kebangsaan prancis, lewat artikelnya berjudul "Les Lois Intellectulles du Langage". Pada masa itu, meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan , dia seperti halnya Reisig, masih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan makna dengan logika, psikologi maupun sejumlah kreteria lainnya. Karya Klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 itu adalah Essai de Semantque.
Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna di tandai dengan pemunculan karya filolog Swendia, yakni Gustaf Stren. berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to the English Language (1931). Stern, dalam kajian itu sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya stern itu, di Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de Linguistique Generalle (1916), karya Ferdinand de Saussure.
Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupak revolusi dalam bidang teori dan penerapan stido kebahasaan. Kedua konsep itu adalah (1) Linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptis. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis, (2) bahasa merupakan suatu geslalt atau suatu suatu totalitas yang di dukung oleh berbagai elemen, yang elemen satu dengan yang lain mengalami saling kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham Linguistik struktural.
 Tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasikan pendapat saussure itu dalam bidang semantik adalah Trier's. Salah satu teori profesor berkebangsaan Jerman tersebut adalah Teori Medan Makna. Dengan beradaptasinya teori Saussure dalam bidang semanti, maka dalam perkembangan berikutnya kajian semantik memiliki ciri (1) meskipin semantik masih bahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan karena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif serta (2) struktur dalam kosakata mendapat perhatian dalam kajian sehingga dalam kongres para linguis di Oslo (1957) maupun di Cambridge (1962), masalah "semantik struktural" merupakan salah satu masalah yang hangat dibicarakan (Ullman, 1977 :8 ) 

SEMANTIK DAN DISIPLIN ILMU LAINNYA.
Bahasa pada dasarnya merupakan sesuatu yang khas di miliki manusia. Ernst Cassirer dalam ini menyebut manusia sebagai animal syimbolicum, yakni makhluk yang menggunakan media berupa simbuk kebahasaan dalam memberi arti dan mengisi kehidupannya.
Dari adanya kenyataan itu, dapat dimaklumi bila bahasa bagi manusia memiliki fungsi yang cukup kompleks dan beragam,seperti di ungkapkan Halliday, bahasa selain memiliki fungsi 
1. Insrumental, alat untuk memenuhi kebutuhan material,
2. Regulatory, mengatur dan mengontrol prilaku individu yang satu dengan yang lain dalam suatu hubungan sosial.
3. Interaksional, menciptakan jalinan hubungan antara individu yang satu dengan yang lain maupun kelompak yang lain.
4. Personal, media identifikasi dan ekspresi diri,
5. Heuristik, untik menjajahi, mempelajari, memahami dunia sekitar,
6. Imajinasi, mengkreasikan dunia dalam kesadaran dunia batin seseorang.
7. Informatif, media penyampai pesan dalam kegiatan komunikasi, juga dapat difungsikan untuk menafsirkan dan memahami keseluruhan pengalaman batin seseorang, meredusikan kembali keseluruhan batin seseorang sejalan dengan tedapatnya berbagai fenomena di dunia sekitar, meyertai proses kesadaran batin , mengatur sejumlah fenomena dalam berbagai klas katagori sesuai dengan jenis objek, ciri proses maupun lakuan, bentuk masyarakat dan institutsi dan sebagainya. (Halliday, 1978: 21) 
Dari terdapat sejumlah fungsi bahasa diatas, dapat di maklumi apabila sematik juga memiliki hubungan dengan sejumlah displin ilmu lain. Tiga displin ilmu yang dimiliki hubungan erat dengan semantik juga memiliki hubungan erat dengan semantik maupun linguistik pada umumnya adalah (1) filsafat , (2) psikologi, dan (3) antropologi.
  
SEMANTIK & FILSAFAT 

Filsafat sebagai studi tentang kearifan, pengetahuan, hakikat realitas maupun prinsip, memiliki hubungan sangat erat dengan semantik. Hal ini terjadi karena dunia fakta yang menjadi objek perenungan adalah dunia simbolik
yang terwakili dalam bahasa. 
Bahasa sehari-hari yang biasa digunakan,misalnya, bila dikaitkan dengan kegiatan filsafat, mengandung kelemahan antara lain dalam hal :
1. Vagueness
2. Inexplicitness
3. Ambiguity
4. Context- dependence
5. Misleadingness 
(Alston, 1964: 6) 

Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung didalam suatu bentuk kebahasaan pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. 
Penjelasan secara verbal tentang aneka warna bunga mawar., tidak akan setepat dan sejelas dibandingkan dengan bersama sama mengamati secara langsung aneka warna bunga mawar. Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan.Selain berfungsi simbolik, bahasa juga memiliki fungsi emotif dan efektif. Selain itu adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi juga menjadi faktor penyebab kesamaran dan ketaksaan makna. 
Akibat dari kekaburan dan ketaksaan makna adalah terjadinya inexplicitness, sehingga bahasa sering kali tidak mampu secara eksak, tepat dan menyeluruh mewujudkan gagasan yang direpresentasikannya. Selain itu pemakaian suatu bentuk sering kali berpindah-pindah maknanya sesuai dengan konteks gramatikal, sosial , serta konteks situasional dalam pemakaian, sehingga juga mengalami context-dependent. 
Keberadaan bahasa sebagai sesuatu yang khas milik manusia menjadi media, pengembangan pikiran manusia bagi para filsuf Yunani juga digunakan untuk merumuskan ciri-ciri manusia. Istilah animal rationale misalnya, dalam bahasa Yunani berpangkal dari logon ekhoon yang mengandung makna "dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi (Peursen,1980: 4). Peursen juga menjelaskan makna "isyarat", "perbuatan", inti sesuatu", "cerita", "kata maupun sususan kata". Dari sejumlah fitur sematis itu para filsuf Yunani merumuskan pengertian logos sebagai kegiatan menyatakan sesuatu yang didukung oleh sejumlah komponen yang masing-masing komponen tersebut antara yang satu dengan yang lain memiliki hubungan dengan menggunakan kata- kata.
Sematik maupun bahasa pada umumnya memiliki hubungan dengan cabang-cabang filsafat seperti anatologi, epistemologi maupun metafisika, semantik pada akhirnya memiliki hubungan erat dengan logika.  
Sehubungan dengan cabang filsafat yang mengkaji masalah berfikir secara benar, peranan semantik tampak sekali dalam rangka menentukan pernyataan yang benar maupun tidak benar,dengan bertolak dari adanya permis serta kesimpulan yang diberikan. Selain itu, istilah seperti predikat maupun proposisi, misalnya adalah istilah  seperti yang lazim digunakan di dalam logika. Bentuk nagasi seperti tidak, konjungsi seperti dan, dengan , disjungsi seperti atau implikasi seperti jika...maka, adalah bentuk-bentuk yang lazim digunakan dalam logika. 

SEMANTIK DAN PSIKOLOGI

Hubungan yang begitu erat antara bahasa dengan aspek kejiwaan manusia, salah satunya ditandai oleh kehadiran displin ilmu yang mengkaji linguistik dari sudut psikologi. Seperti telah dietahui, disiplin ilmu yang dimaksud adalah psikolinguistik. Dalam proses menyusun dan memaham pesan lewat kode kebahasaan, unsur-unsur kejiwaan seperti kesadaran batin, pikiran , asosiasi, maupun pengalaman, jelas tidak dapat diabaikan. 
Seorang filsuf yang juga berpengaruh besar dalam bidang psikologi, Jhon Locke mengungkapkan bahwa pemakaian kata-kata juga dapat diartikan sebagai penanda bentuk gagasan tertentu karena bahasa juga menjadi instrumen pikiran yang mengacu pada suasana maupun realitas tertentu. (Alston, 1964: 22). Keberadan kata-kata yang menjadi penanda bentuk gagasan itu tentunya bukan pada struktur bunyi atau bentuk penulisannya, melainkan pada makna. Kekuatan pengaruh psikologi dalam bidang semantik juga ditandai oleh adanya pengaruh sejumlah aliran dalam psikolog, misalnya behaviorisme, psikologi Gestalt field theory, kognitivisme maupun psikologi humanistik dalam kajian sematik. Pada sisi lain, rangkaian pengaruh filsafat terhadap kajian psikologi itu sendiri tentunya juga tidak dapat diabaikan.
Pendekatan psikolog behaviorisme dalam kajian makna bertolak dari anggapan bahwa makna merupakan bentuk responsi terhadap stimuli yang di peroleh oleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki (Paivio & Begg, 1981: 94). Asosiasi makna dalam hal ini ditentukan oleh bentuk perilaku realitas yang diacu lambang kebahasaan.
Pendekatan psikologi kognitif dalam pengkajian makna dapat dibedakan antara : 
1. Kelompok yang lebih banyah berorientasi pada teori psikologi kognitif
2. Kelompok yang lebih banyak berorientasi pada linguistik.
Salah satu model analisis fitur sematis kata lewat pendekatan psikolog kognitif yang lebih banyak berorientasi pada linguistik, dilaksanakan antara lain dengan cara :
a. Mengidentifikasi sejumlah ciri referen yang diacu oleh kata,
b. Mengidentifikasi kemungkinan adanya hubungan referen suatu kata dengan acuan referen suatu kata dengan acuan referen dalam kata lainnya, serta 
c. Mengidentifikasi  "ciri khusus" setiap kata yang memiliki ciri hubungan acuan referen, sebagai butir yang membedakan fitur sematis kata itu dengan lainnya.

SEMANTIK DAN ANTROPOLOGI

Batas antropologi sengan sosiologi sering kali kabur karena keduanya mengkaji masalah manusia dalam masyarakat. Roger. T Bell, dalam membedakan bentuk kajian kedua displin ilmu itu, menyimpulkan bahwa :
1. Pusat kajain antropologi adalah pada sekelompok masyarakat tertentu,sedangkan sosiologi pada kelompok masyarakat yang lebih luas.
2. antropologi mengkaji perkembangan masyarakat yang realita homogen dengan berbagi karakterisistiknya, sedangkan sosiologi mengkaji proses perkembangan sosial-ekonomi masyarakat yang heterogen. (Bell, 1976:64)
Hubungan semantik dngan fenomena sosial dan kultural pada dasarnya memang sudah selayaknya terjadi. Disebut demikian karena aspek sosial dan kultural sangat berperan dalam menentukan bentuk, perkembangan maupun perubahan makna kebahasaan. Dalam menentukan fungsi dan komponen sematis bahasa, Halliday mengemukakan adanya tiga unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketiga unsur itu meliputi :
1. Ideational, yakni isi pesan yang ingin disampaikan
2. Interpersonal, makna yang hadir bagi pemeran dalam persitiwa tuturan, serta
3. Textual, bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang merepresentasikan serta menunjang terwujudnya makna tuturan.
SEMANTIK DAN KESASTRAAN

Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa sebagai media pemaparny. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhassannya sendiri. Di sebut demikian karena bahasa dalam karya sastra merupakan salah satu bentuk idiosyncratic dimana tebaran kata yang digunakan merupakan hasil pengolahan dan ekspresi individual pengarangnya (cf. Lyons, 1979: 108)
Selain itu, sebagai komunikasi tulis, karya sastra juga telah kehilangan identitas sumber tuturan, kepastian referen yang diacu, konteks tutran  yang secara pasti menunjang pesan yang ingin direprensensikan, serta keterbatasan tulisan itu sendiri dalam mewakili bunyi ujaran. 
Kode dalam sastra memiliki 2 lapis yakni :
1. Lapis bunyi atau bentuk
2. Lapis makna
Lapis makna dalam hal ini , masih dapat menjadi beberapa stratum yakni
a. Unit makna literal yang secara tersurat direpresentasikan bentuk kebahasaan yang digunakan. 
b. Dunia rekaan pengarang 
c. Dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu, serta 
d. Lapis dunia atau pesan yang bersifat metafisis 
( cf. Aminuddin, 1984:63)








 












 

Minggu, 17 April 2011

Fonologi


Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya. Hal-hal yang dibahas dalam fonologi antara lain sebagai berikut.
Bunyi Ujaran
Bila kita ditempatkan di tengah-tengah suatu lingkungan masyarakat yang menggunakan suatu bahasa yang tak kita pahami sama sekali, serta mendengar percakapan antar penutur-penutur bahasa itu, maka kita mendapat kesan bahwa apa yang merangsang alat pendengar kita itu merupakan suatu arus-bunyi yang di sana-sini diselingi perhentian sebentar atau lama menurut kebutuhan penuturnya. Bila percakapan itu tarjadi antara dua orang atau lebih, akan tampak pada kita bahwa sesudah seseorang menyelesaikan arus-bunyinya itu, maka yang lain akan mengadakan reaksi . Reaksinya dapat berupa : mengeluarkan lagi arus-bunyi yang tak dapat kita pahami itu, atau melakukan suatu tindakan tertentu.
Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa apa yang dalam pengertian kita sehari-hari disebut bahasa itu meliputi dua bidang yaitu : bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi tadi; bunyi itu merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, serta arti atau makna adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi itu. Untuk selanjutnya arus-bunyi itu kita namakan arus-ujaran.
Bila kita mengadakan pemotongan suatu arus-ujaran atas bagian-bagian atau segmen-segmen, dan bagian-bagian itu dipotong-potong lagi dan seterusnya, akhirnya kita sampai kepada unsur-unsur yang paling kecil yang disebut bunyi-ujaran . Tiap bunyi ujaran dalam suatu bahasa mempunyai fungsi untuk membedakan arti. Bila bunyi-ujaran itu sudah dapat membedakan arti maka ia disebut fonem ( phone = bunyi, -ema = suatu akhiran dalam bahasa Yunani yang berarti mengandung arti ).
Bila kita melihat deretan kata-kata seperti: lari, dari, tari, mari, atau deretan lain seperti: dari, daki, dasi, dahi, dan sebagainya, dengan jelas kita melihat bahwa bila suatu unsur diganti dengan unsur lainnya akan terjadi pula akibat yang besar yaitu: perubahan arti yang terkandung dalam kata itu. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa kesatuan-kesatuan yang kecil yang terjadi dari bunyi-ujaran itu mempunyai peranan dalam membedakan arti.
Batasan: Fonem adalah kesatuan yang terkecil yang terjadi dari bunyi-ujaran yang dapat membedakan arti.





Fonetik dan Fonemik
Bagian dari Tatabahasa yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya dalam Ilmu Bahasa disebut fonologi .
Fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yaitu Fonetik dan Fonemik .
Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.
Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
Alat Ucap
Kita tidak akan memahami sebaik-baiknya segala macam bunyi-ujaran bila kita tidak mengetahui sebaik-baiknya tetntang alat ucap yang menghasilkan bunyi-bunyi tersebut. Sebab itu dalam Fonologi dipelajari juga bagian-bagian tubuh yang ada sangkut-pautnya dengan menghasilkan bunyi-ujaran tersebut.
Bunyi-ujaran dihasilkan oleh berbagai macam kombinasi dari alat-ucap yang terdapat dalam tubuh manusia. Ada tiga macam alat-ucap yang perlu untuk menghasilkan suatu bunyi-ujaran, yaitu:
  1. Udara : yang dialirkan keluar dari paru-paru.
  2. Artikulator : bagian dari alat-ucap yang dapat digerakkan atau digeserkan untuk menimbulkan suatu bunyi.
  3. Titik artikulasi : ialah bagian dari alat-ucap yang menjadi tujuan sentuh dari artikulator.
Dalam menimbulkan bunyi-ujaran /k/ misalnya, dapat kita lihat kerja sama antara ketiga faktor tersebut dia atas. Mula-mula udara mengalir keluar dari paru-paru, sementara itu bagian belakang lidah bergerak ke atas serta merapat ke langit-langit lembut. Akibatnya udara terhalang. Dalam hal ini belakang lidah menjadi artikulatornya, karena belakang lidah merupakan alat-ucap yang bergerak atau digerakkan, sedangkan langit-langit lembut menjadi titik artikulasinya, karena dia tidak bergerak, dia menjadi tempat tujuan atau tempat sentuh belakang lidah.
Yang termasuk alat-ucap adalah: paru-paru (tempat asal aliran udara), tenggorokan, di ujung atas tenggorokan ( laring ) terdapat pita suara. Ruang di atas pita suara hingga ke perbatasan rongga hidung disebut faring . Alat-alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut adalah: bibir ( labium ), gigi ( dens ), lengkung kaki gigi ( alveolum ), langit-langit keras ( palatum ), langit-langit lembut ( velum ), anak tekak ( uvula) , lidah, yang terbagi lagi atas beberapa bagian yaitu: ujung lidah ( apex ), lidah bagian depan, lidah bagian belakang dan akar lidah.
Di samping rongga-rongga laring, faring dan rongga mulut sebagaimana telah disebutkan di atas, rongga hidung juga memainkan peranan yang penting dalam menghasilkan bunyi.

Pita Suara
Di ujung atas laring terdapatlah dua buah pita yang elastis yang disebut pita suara . Letak pita suara itu horizontal. Antara kedua pita suara itu terdapat suatu celah yang disebut glotis . Dalam menghasilkan suatu bunyi, pita suara itu dapat mengambil empat macam sikap yang penting:
  1. Antara kedua pita suara terdapat celah ( glotis ). Celah ini pada suatu saat terbuka lebar , serta udara yang mengalir keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan sehingga tidak terdengar geseran sedikitpun. Bunyi yang dihasilkan dengan posisi ini adalah: /h/.
  2. Kebalikan dari posisi di atas adalah sikap di mana pita suara tertutup rapat . Udara yang keluar dari paru-paru ditahan oleh pita suara yang tertutup rapat terbentang tegang menutup laring. Bunyi yang dihasilkan dengan sikap ini adalah bunyi hamzah ( glotal stop ). Bunyi ini biasanya dilambangkan dengan /?/, atau dalam ejaan lama dipergunakan tanda (').
  3. Posisi yang ketiga adalah bagian atas dari pita suara terbuka sedikit ; udara yang keluar dapat juga menggetarkan pita suara. Segala macam bunyi-ujaran lainnya terjadi dengan sikap pita suara ini. Bila udara yang keluar itu turut menggetarkan pita suara maka terjadilah bunyi-ujaran yang bersuara ; bila pita suara tidak turut digetarkan maka terjadilah bunyi-ujaran yang tak bersuara.
  4. Sikap yang keempat adalah bagian bawah dari pita suara terbuka sedikit . Dalam sikap ini kekuatan udara itu hilang atau berkurang sehingga segala macam bunyi-ujaran yang dihasilkan dengan sikap III berkurang juga. Peristiwa ini terjadi ketika berbisik.
Konsonan
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan, maka terjadilah bunyi yang disebut konsonan . Halangan yang dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu.
Dengan memperhatikan bermacam-macam factor untuk menghasilkan konsonan, maka kita dapat membagi konsonan-konsonan:
  1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya.
  2. Berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar.
  3. Berdasarkan turut-tidaknya pita suara bergetar.
  4. Berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran.
Batasan : Konsonan adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan.
1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya, konsonan-konsonan dapat dibagi atas:
a. Konsonan bi-labial, bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah bibir: /p/, /b/, /m/, dan /w/. Karena kedua belah bibir sama-sama bergerak, serta keduanya juga menjadi titik sentuh dari bibir yang lainnya, maka sekaligus mereka bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi.
b. Konsonan labio-dental, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulatornya: /f/ dan /v/.
c. Konsonan apiko-interdental, adalah bunyi yang terjadi dengan ujung lidah yang bertindak sebagai artikulator dan daerah antar gigi sebagai titik artikulasinya: /t/ dan /n/.
d. Konsonan apiko-alveolar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi sebagai titik artikulasinya: /d/ dan /n/.
e. Konsonan palatal, adalah bunyi yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah sebagai artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasinya: /c/, /j/, dan /ny/.
f. Konsonan velar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh belakang lidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasinya: /k/, /g/, /ng/, dan /kh/.
g. Hamzah (glottal stop), adalah bunyi yang dihasilkan dengan posisi pita suara tertutup sama sekali, sehingga menghalangi udara yang keluar dari paru-paru. Celah antara kedua pita suara tertutup rapat.
h. Laringal, adalah bunyi yang terjadi karena pita suara terbuka lebar. Bunyi ini dimasukkan dalam konsonan karena udara yang keluar mengalami gesekan.
2. Berdasarkan halangan yang dijumpai udara ketika keluar dari paru-paru, konsonan dapat pula dibagi-bagi atas:
a. Konsonan hambat (stop), merupakan konsonan yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru sama sekali dihalangi: /p/, /b/, /k/, /t/, /d/, dll. Dalam pelaksanaannya, konsonan hambat dapat disudahi dengan suatu letusan; dalam hal ini konsonan hambat itu disebut konsonan peletus atau konsonan eksplosif, misalnya konsonan p dalam kata pukul, lapar. Atau konsonan hambat itu dapat dilaksanakan dengan tidak ada letusan; maka hambat itu bersifat implosif, misalnya /t/ dalam kata berat, parit, dll.
Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa hambat eksplosif terdapat bila suatu konsonan hambat diikuti vokal, sedangkan konsonan hambat implosif terjadi bila konsonan hambat itu tidak diikuti vokal.
b. Frikatif (bunyi geser) , merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru digesekkan: /f/, /h/, dan /kh/.
c. Spiran, merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan diiringi bunyi desis: /s/, /z/, /sy/.
d. Likuida, atau disebut juga lateral , merupakan bunyi yang dihasilkan dengan mengangkat lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan keluat melalui kedua sisi: /l/.
e. Getar atau trill, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah ke alveolum atau pangkal gigi, kemudian lidah itu menjauhi alveolum lagi, dan seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat, sehingga udara yang keluar digetarkan. Bunyi ini, yang dihasilkan dengan ujung lidah sebagai artikulator disebut getar apikal . Di samping itu dalam Ilmu Bahasa dikenal pula semacam bunyi getar lain yang mempergunakan anak tekak sebagai artikulatornya, dan yang bertindak sebagai titik artikulasinya adalah belakang lidah. Konsonan getar macam ini disebut getar uvular . Getar apikal dilambangkan dengan /r/, sedangkan getar uvular secara fonetis dilambangkan dengan /R/.
3. Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan bersuara, jika pita suara turut bergetar: /b/, /d/, /n/, /g/, /w/, dan sebagainya.
b. Konsonan tak bersuara, jika pita suara tidak bergetar: /p/, /t/, /c/, /k/, dan sebagainya.
4. Berdasarkan jalan yang diikuti arus udara ketika keluar dari rongga ujaran, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan oral, jika udaranya keluar melalui rongga mulut: /p/, /b/, /k/, /d/, /w/ dan sebagainya.
b. Konsonan nasal, jika udaranya keluar melalui rongga hidung: /m/, /n/, /ny, /ng/.

·        Ejaan bahasa Indonesia
Huruf
Bagian terbesar dari sejarah umat manusia berada dalam kegelapan karena perkembangan, perluasan, timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka bumi ini tidak diketahui. Bangsa-bangsa dahulu kala tidak mengenal suatu cara untuk dapat meninggalkan kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-sumber yang tertulis baru saja diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu tahun saja.
Bukti-bukti tertulis itu dalam bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada orang-orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan lukisan menggambarkan kepada kita suatu peristiwa tertentu. Cara ini biassa disebut piktograf. Piktograf itu lambat laun dikembangkan sedemikian rupa hingga suatu lukisan dapat menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-kata yang berlainan tetapi mempunyai bunyi yang sama juga dapat dilukiskan dengan tanda atau simbol yang sama; sistem ini disebut ideograf atau logograf, yaitu suatu sistem dimana suatu kata dilambangkan oleh suatu tanda, misalnya dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem kita yang modern ini masih dapat ditemukan sistem logograf ini, yaitu bila kita melambangkan bilangan-bilangan memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan sebagainya.
Dari sistem ideograf atau logograf itu kemudian diturunkan bermacam-macam lambang yang mewakili suku kata saja. Contoh yang dapat dikemukakan adalah huruf-huruf Jepang, Dewa Negari, Arab dan lain-lain. Untuk menunjukkan vokal dalam huruf-huruf Arab dan Dewa Negari diberi tanda-tanda baru.perkembangan yang paling akhir sebagai penyempurnaan dari sistem perlambangan atas suku kata (silabis), adalah setiap bunyi dilambangkan dengan satu tanda. Sistem ini disebut fonemis , misalnya aksara Latin, Yunani, Jerman, dan sebagainya.
Dengan bermacam-macam cara itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam bentuk lambang-lambang. Segala macam cara itu pada umumnya disebut huruf.
Di antara sekian macam sistem itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang untuk satu bunyi adalah sistem yang paling baik. Dan untuk selanjutnya pengertian huruf yang akan dipakai adalah pengertian terakhir.
Jadi sejauh ini sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam sistem tulisan.
a. Tulisan piktograf: urutan beberapa gambar untuk melukiskan suatu peristiwa, misalnya pada orang Indian Mexico.
b. Ideograf atau logograf: suatu tanda atau lambang mewakili sepatah kata atau pengertian, misalnya huruf Cina.
c. Tulisan silabis: suatu tanda untuk menggambarkan suatu suku kata, misalnya tulisan Jepang, Dewa Negari, dan lain-lain.
d. Tulisan fonemis: satu tanda untuk melambangkan satu bunyi, misalnya huruf Latin, Yunani, Jerman dan lain-lain.
Batasan: Huruf adalah lambang atau gambaran dari bunyi .
Setiap sistem perlambangan bunyi-ujaran mempunyai urutan-urutan tertentu. Rentetan urutan sistem Latin lain dari Yunani dan lain pula dari urutan sistem Rusia. Rentetan huruf-huruf menurut sistem tertentu itu kita kenal dengan abjad atau alfabet . Jadi ada alfabet Latin, ada alfabet Yunani dan lain-lain.


 Ejaan
Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu bunyi-ujaran yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan dengan satu lambang tertentu. Dengan demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan mendekati kesempurnaan, walaupun kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam batas-batas ukuran kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi (penulisan) bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat diatasi. Sudah diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga memberi kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian antara, perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi hasil usaha itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus diulang oleh yang membacanya.
Segala macam tanda baca seperti yang disebut di atas disebut tanda baca atau pungtuasi.
Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu tanda). Di samping itu masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu terutama dalam mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang dilambangkan dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme dalam pengucapan.
Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita menulils seluruh kata di sana. Apakah kita harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.
Batasan: Keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.
Macam-Macam Ejaan
Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka, pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.
Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe tidak semuanya diganti dengan u. Baru pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe mulai 1 Januari 1949 diganti dengan u.
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitian dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.
Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:
Lama                    Yang Disempurnakan
                                      dj          djalan                j         jalan
                                       j          pajung               y          payung 
                                      nj          njonja               ny       nyonya
                                      sj*         sjarat               sy        syarat
                                      tj           tjakap               c         cakap
                                      ch*        tarich                kh       tarikh
* Kedua gabungan huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping itu diresmikan pula huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:
  f    maaf, fakir
  v    valuta, universitas
  z    zeni, lezat
  q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.                         















Rabu, 13 April 2011

Morfologi

Bagian dari tata bahasa yang membicarakan bentuk kata disebut morfologi. Pengertian tentang bentuk belum jelas bila kita belum mengetahui lebih lanjut tentang wujudnya dan apa yang menjadi ciri-cirinya.
Semua arus-ujaran yang sampai ke telinga kita terdengar sebagai suatu rangkaian kesatuan. Bila kita berusaha memotong-motong suatu arus-ujaran yang sederhana seperti:
/ p e k e r j a a n m e r e k a m e m u a s k a n /
maka potongan-potongan (segmen) yang akan kita dapat yaitu potongan-potongan yang merupakan kesatuan yang langsung membina kalimat itu adalah: pekerjaan, mereka dan memuaskan . Unsur mereka di satu pihak tidak dapat dipecahkan lagi, sedangkan unsur pekerjaan dan memuaskan masih dapat dipecahkan lagi menjadi: kerja dan pe-an , serta puas dan me-kan.
Unsur-unsur kerja dan puas dapat pula dengan langsung membentuk kalimat seperti tampak dalam contoh berikut:
•  Kerja itu belum selesai
•  Saya belum puas
Sebaliknya unsur-unsur pe-an dan me-kan tidak bisa langsung membentuk sebuah kalimat. Unsur-unsur ini juga tidak bisa berdiri sendiri, selalu harus diikatkan kepada unsur-unsur lain seperti puas, kerja, dan lain-lain. Untuk ikut serta dalam membentuk sebuah kalimat, unsur-unsur pe-an dan me-kan pertama-tama harus digabungkan dengan unsur puas dan kerja.
A. Morfem
Kedua macam unsur itu, baik kerja dan puas , maupun pe-an dan me-kan mempunyai suatu fungsi yang sama yaitu membentuk kata. Unsur pembentuk itu, baik yang bebas ( kerja dan puas ) maupun yang terikat ( pe-an dan me-kan ) dalam tata bahasa disebut morfem (dari kata morphe = bentuk, akhiran ­ema­ = yang mengandung arti). Jadi dalam bahasa Indonesia kita dapati dua macam morfem yaitu:
a. Morfem dasar atau morfem bebas , seperti: kerja, puas, bapak, kayu, rumah, tidur, bangun, sakit, pendek, dan lain-lain.
b. Morfem terikat , seperti: pe-, -an, pe-an, ter-, ber-, me-, dan lain-lain.
Dalam tata bahasa Indonesia morfem dasar atau morfem bebas itu disebut kata dasar , sedangkan morfem terikat disebut imbuhan.
Batasan: Morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat dibedakan artinya.
B. Alomorf
Dalam merealisasikan morfem-morfem tersebut, pada suatu ketika kita sampai kepada suatu kenyataan bahwa morfem-morfem itu dapat juga mengalami variasi atau perubahan bentuk. Misalnya morfem ber- dalam bahasa Indonesia dalam realisasinya dapat mengambil bermacam-macam bentuk:
                   ber-             be-              bel-
                   berlayar       bekerja        belajar
                   bersatu        berambut
                   bergirang     beruang
                   berdiri          berakit dan lain-lain.
Perubahan bentuk ber- menjadi be- atau bel- disebabkan oleh lingkungan yang dimasukinya. Bila ber- memasuki suatu lingkungan kata yang mengandung fonem /r/ dalam suku kata pertama, maka fonem /r/ dalam morfem ber- itu ditanggalkan. Dalam suatu kesempatan unsur /r/ itu berubah menjadi /l/. Bentuk-bentuk variasi dari pada morfem itu disebut alomorf .
Batasan: Alomorf adalah variasi bentuk dari suatu morfem disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang dimasukinya.
Dalam Morfologi atau Ilmu Bentuk Kata dibicarakan bagaimana hubungan antara morfem dengan morfem, antara morfem dengan alomorf, serta bagaimana pula menggabungkan morfem-morfem itu untuk membentuk suatu kata.
C) Morfem Terikat
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, morfem dapat dibagi atas dua macam yaitu morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat dalam tata bahasa Indonesia dapat dibagi lagi atas empat macam berdasarkan tempat terikatnya pada sebuah morfem dasar:
  1. Prefiks (= awalan) : per-, me-, ter-, di-, dan lain-lain.
  2. Infiks (= sisipan) : -el, -er, -em,
  3. Sufiks (= akhiran) : -an, -kan, -i.
  4. Konfiks : gabungan dari dua atau lebih dari ketiga macam morfem di atas yang bersama-sama membentuk suatu kesatuan arti.
Morfem terikat dapat dibeda-bedakan lagi menurut fungsinya, ada yang berfungsi untuk membentuk kata kerja, ada yang bertugas untuk membentuk kata benda, ada pula yang digunakan untuk membentuk kata sifat. Pembagian yang kompleks adalah pembagian yang didasarkan atas arti yang didukungnya. Tetapi arti yang didukungnya itu pun belum mutlak, masih merupakan suatu kemungkinan; arti yang tepat harus selalu ditinjau dari suatu konteks.
D) Morfem Bebas dan Kata
Suatu morfem bebas telah dapat disebut sebagai kata. Sebaliknya konsep tentang kata tidak hanya meliputi morfem bebas, tetapi juga meliputi semua bentuk gabungan antara morfem terikat dengan morfem bebas, atau morfem dasar dengan morfem dasar. Berarti konsep kata, atau tegasnya kata berdasarkan bentuknya dapat kita bagi atas:
  1. Kata dasar
  2. Kata berimbuhan, yang dapat dibagi lagi atas:
    1. Kata yang berawalan (ber-prefiks).
    2. Kata yang bersisipan (ber-infiks).
    3. Kata yang berakhiran (ber-sufiks).
    4. Kata yang berkonfiks.
  3. Kata ulang
  4. Kata majemuk
Baik kata dasar maupun kata-kata jadian (kata berimbuhan, berulang, dan majemuk), walaupun di satu pihak terdapat perbedaan dalam morfologinya tetapi di pihak lain ada kesamaan dalam fungsi dan dalam bidang arti. Fungsi dari segala macam bentuk kata ini adalah secara langsung dapat membina sebuah kalimat. Sedangkan dalam bidang arti tiap-tiapnya mengandung suatu ide tertentu. Ide yang terkandung dalam kata kerja lain dari pada ide yang ditimbulkan oleh kata pekerjaan , dan keduanya lain dari pada ide yang terkandung dalam kata bekerja, mengerjakan, dan dikerjakan. Masing-masing mewakili ide yang berlainan.
Batasan: Kesatuan-kesatuan yang terkecil yang diperoleh sesudah sebuah kalimat dibagi atas bagian-bagiannya, dan mengandung suatu ide disebut kata.

Analisa Kata
Karena kata itu dapat mengambil bermacam-macam bentuk oleh penggabungan antar morfem, maka secara teoritis kata dapat pula diuraikan menurut urutan peristiwa terjadinya. Unsur-unsur yang tergabung menjadi satu kata, tidak dapat bergabung begitu saja tetapi selalu mengikuti suatu tata-tingkat yang tertentu dan teratur.
Marilah kita mulai mengambil suatu contoh yang sederhana: petani. Kita semua akan sepakat bahwa kata itu dibentuk dari dua unsur yaitu pe dan tani. Tidak ada yang akan menyangkal kenyataan ini.
Marilah kita mengambil contoh yang lain: perbuatan. Dengan contoh ini akan timbul beberapa pendapat. Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa perbuatan terjadi dari 3 unsur yaitu per-, buat dan –an.
Kata perbuatan mengandung suatu ide yang lain sekali dari kata perbuat atau buatan. Berarti masing-masing unsur per- dan –an dalam kedua kata tersebut juga mempunyai suatu tugas yang khusus dalam membentuk arti. Sedangkan arti unsur-unsur per- dan –an dalam perbuatan bukanlah gabungan dari kedua unsur itu, tetapi keduanya bersama-sama membentuk suatu arti yang lain. Jadi, kedua bentuk itu, yang mempunyai kesatuan arti, pada suatu saat bergabung dengan kata buat. Sebab itu dapatlah ditegaskan di sini bahwa kata perbuatan terbentuk dari dua unsur yaitu buat dan konfiks pe-an.
Analisa semacam ini, yang dilakukan atas kata disebut analisa unsur bawahan terdekat. Dengan analisa ini kita mencari unsur-unsur yang langsung membentuk kata-kata seperti petani, perbuatan, dan lain-lain. Menurut tata-tingkat pembentukan, setiap unsur yang baru harus selalu terdiri dari dua unsur yang lebih kecil. Tiap-tiap unsur yang langsung membentuk kata itu disebut unsur bawahan terdekat.
Contoh: petani: unsur bawahan terdekatnya adalah pe- dan tani.
            perbuatan: unsur bawahan terdekatnya adalah buat dan per-an.
A. Analisa Unsur
Dengan dasar-dasar pengertian tersebut kita menerapkan lagi analisa di atas, dengan unsur-unsur yang lebih sulit, misalnya: menerangkan.
Kata dasar menerangkan adalah terang. Kini kita meneliti unsur manakah yang mula-mula bergabung dengan terang. Apakah unsur-unsur me-kan bergabung begitu saja dengan terang? Jika demikian dari manakah datangnya unsur n itu? Akan kita lihat nanti bahwa pembentukan kata menerangkan terjadi tahap demi tahap.
Tahap I: Kata terang mula-mula bergabung dengan unsur –kan, sehingga terbentuklah kata terangkan.
Tahap II: Apakah terangkan lalu bergabung dengan me- atau harus ada tahap-antara dahulu? Andaikata terangkan digabung dengan me- maka kita akan mendapat *meterangkan. Sedangkan kata yang hendak kita analis adalah menerangkan. Tahap II yang harus kita lalui adalah fonem t mendapat proses nasalisasi (penyengauan) menjadi n.
Jadi Tahap II adalah: N (nasalisasi) + terangkan, hasilnya adalah *nerangkan.
Tahap III: Baru pada akhirnya kita menggabungkan me- dengan *nerangkan sehingga terbentuklah kata menerangkan.
Jadi:
  1. Unsur bawahan terdekat dari menerangkan adalah me- dan *nerangkan.
  2. Unsur bawahan terdekat dari nerangkan adalah N (nasalisasi) dan terangkan.
  3. Unsur bawahan terdekat dari terangkan adalah terang dsn –kan.
Inilah teknik dimana kita dapat menunjukkan secara teoritis terbentuknya sebuah kata dan tata-tingkat unsur-unsur pembentukan suatu kata. Teknik ini akan kembali dibicarakan bila kita membahas Sintaksis Bahasa Indonesia.
Tahap II seperti yang telah dituliskan di atas, dimana suatu fonem mendapat nasal, bukanlah suatu hal yang baru dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam dialek Jakarta misalanya, proses nasalisasi ini masih sangat produktif untuk pembentukan kata kerja, seperti kopi-ngopi, kapur-ngapur, surat-nyurat dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa pada jaman lampau nasalisasi ini juga produktif untuk pembentukan kata kerja. Namun lambat laun mulai berkurang, dan diambil alih oleh prefiks me-. Tetapi dalam pembentukan kata kerja, prefiks me- masih membutuhkan nasalisasi, yang terjadi secara otomatis. Walaupun nasalisasi ini pada kenyataannya sekarang selalu serempak terjadi dengan me- , dalam analisa kita harus memberi tempat yang layak padanya agar kita bisa mengenal struktur tata-tingkat unsur-unsur itu sebaik-baiknya.
* bentuk-bentuk yang bertanda bintang adalah bentuk hipotetis.
B) Nasalisasi
Nasalisasi adalah proses merubah atau memberi nasal pada fonem-fonem. Di atas telah diterangkan bagaimana terjadinya nasal atas kata terang. Dalam menasalkan suatu fonem, orang tidak berbuat sesuka hati tetapi harus mengikuti kaidah-kaidah tertentu.setiap fonem yang dinasalkan haruslah mengambil nasal yang homorgan. Artinya nasal yang mempunyai artikulator dan titik artikulasi yang sama seperti fonem yang dinasalkan itu.
Jadi: p dan b harus mengambil nasal m (karena sama-sama bilabial).
        t dan d harus mengambil nasal n (karena sama-sama dental).
        k dan g harus mengambil nasal ng (karena sama-sama velar) dan sebagainya.
Dalam proses nasalisasi tersebut tampak pula bahwa: b, d, g, j, tidak pernah hilang bila mengalami nasalisasi, sedangkan p, t, k, s hilang atau luluh. Hal ini terjadi karena b, d, g itu adalah konsonan bersuara, sama seperti konsonan nasal itu. Jadi tidak perlu diadakan penyesuaian lagi karena sifat fonem itu sama (bersuara). Sebaliknya, p, t, k, s adalah konsonan yang tak bersuara yang harus disesuaikan dengan fonem nasal yang bersuara. Dalam penyesuaian ini konsonan-konsonan yang tak bersuara itu mengalami peluluhan. Kecuali itu fonem-fonem /r/, /y/, /l/, /w/ tampaknya tidak mendapat nasal, misalnya: merajai, meyakinkan, mewarnai, melakukan dan sebagainya. Namun prinsip yang kita ambil adalah pembentukan dengan prefiks me- harus melalui proses nasalisasi, maka kata-kata yang fonem awalnya adalah r, y, l, w, juga harus mengalami proses nasalisasi. Nasalisasi semacam ini dikenal dengan istilah zero (tidak ada).
Ada persoalan lain yang timbul dalam nasalisasi. Mengapa kadang-kadang kita mendapat bentuk-bentuk kembar seperti: menertawakan dan mentertawakan?
Untuk menjawab persoalan di atas, baiknya kita melihat bentuk-bentuk seperti: mempertahankan, memperbaiki, mempersatukan dan sebagainya. Fonem /p/ di sini tidak diluluhkan, walaupun /p/ adalah konsonan tak bersuara. Sebaliknya bentuk-bentuk seperti mengeluarkan, mengemukakan, mengetengahkan mengalami peluluhan pada fonem awalnya: /k/. Selanjutnya kata-kata asing seperti sabot, koordinir, dan lain-lain tetap mempertahankan konsonan awalnya walaupun konsonan itu tak bersuara.
Jawaban dari semua persoalan di atas ialah pada prinsipnya peluluhan berlaku pada kata-kata dasar, bukan pada afiks (imbuhan). Kata tertawa oleh sebagian orang dianggap atau dirasakan terdiri dari prefiks ter- dan kata dasar tawa. Oleh karena itu dibentuklah kata jadian mentertawakan. Sebagian lagi menganggap tertawa adalah kata dasar karena itu fonem /t/ diluluhkan sehingga terdapat bentuk menertawakan. Kata keluar juga dianggap sebagai satu kata dasar, karena itu dibentuk kata turunan mengeluarkan. Sedangkan bentuk-bentuk seperti mengetengahkan, mengemukakan dibentuk secara analogi mengikuti bentuk mengeluarkan.
Sebaliknya, kata-kata asing yang terasa tidak familiar tetap mempertahankan konsonan-konsonan tak bersuara untuk menjaga jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman.
Ringkasnya, nasalisasi harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
  1. Nasalisasi berlangsung atas dasar homogen.
  2. Dalam nasalisasi konsonan bersuara tidak luluh, konsonan tak bersuara diluluhkan.
  3. Nasalisasi hanya berlangsung pada kata-kata dasar, atau yang dianggap kata dasar.
  4. Fonem-fonem y, r, l, dan w dianggap mengalami proses nasalisasi juga tetapi nasalisasi yang zero.
Catatan: Kata-kata yang mulai dengan vokal dan fonem /h/ mengambil nasal ng. Hal ini tidak menyalahi prinsip homorgan, karena alat-alat ucap yang menghasilkan buyi-bunyi ujaran itu berada dalam rongga laring dan faring. Untuk itu ia harus mencari nasal yang terdekat, yaitu ng.

Kata Dasar
Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia, dan juga semua bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata; misalnya: rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia. Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib , yaitu:
  1. Pola Kanonik I: K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal, misalnya: padi, lari, paku, tiga, dada, dan sebagainya.
  2. Pola Kanonik II: K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan, misalnya: rumah, tanah, batang, sayap, larang, dan lain-lain.
Kita tidak menyangkal akan apa yang telah dikemukakan oleh von Dempwolff. Tetapi, andaikata kita menerima secara mutlak Pola Kanoniknya itu sebagai dasar yang absolut, maka bagaimana kita harus menerapkan kata-kata seperti tendang, banting, panggil, aku, api, anak, dan lain-lain? Berarti kita sekurang-kurangnya menambahkan beberapa macam rumus lagi agar bisa menampung semua kata dasar yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya: K-V-K-K-V-K, V-K-V-K, V-K-V. Dan semua rumus ini sekurang-kurangnya baru mengenai kata-kata dasar. Jika kita membahas kata-kata pada umumnya, tentu akan lebih banyak lagi.
Oleh karena itu kita mengambil suatu dasar lain yang lebih sempit yaitu berdasarkan suku kata ( silaba ). Bila kita berusaha untuk memecah-mecahkan kata dasar bahasa Indonesia menjadi sukukata-sukukata, maka kta akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa ada tiga macam struktur sukukata dalam bahasa Indonesia yaitu: V, V-K, K-V , dan K-V-K . Dengan demikian kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dibentuk dari kemungkinan-kemungkinan gabungan dari ketiga jenis silaba itu, misalnya:
             ru - mah  (K-V + K-V-K)
             ka - ta     (K-V + K-V)
             a  - pa     (V + K-V)
             lem - but  (K-V-K + K-V-K)
             na - ik      (K-V + V-K)
              a - ir       (V + V-K) dan lain-lain.
A. Akar Kata
Jika kita memperhatikan lagi dengan cermat akan bentuk-bentuk kata dasar, tampaklah bahwa ada banyak kata yang memiliki bagian yang sama. Seorang ahli bahasa dari Austria bernama Renward Brandsetter telah mencurahkan minatnya sepenuhnya dalam hal ini. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya, pernah terbentuk dari suatu unsur yang lebih kecil yang disebut akar kata . Kata-kata seperti bukit, rakit, bangkit, ungkit, dan lain-lain dapat dipulangkan kepada suatu unsur dasar yaitu vkit.
Dengan demikian dalam bahasa Indonesia kita mendapat bermacam-macam akar kata seperti:
      vtun : tuntun, santun, pantun.
      vtas : batas, atas, pentas, petas, retas , dan lain-lain. .
      vlut : kalut, balut, salu, belut, dan lain-lain.
      vlit : lilit, kulit, sulit, belit,  dan lain-lain.

B. Arti Akar Kata
Pada umunya kita masih bisa mencari dan menemukan arti dari akar kata-kata dalam bahasa Indonesia. Tetapi sering juga kita terbentur dengan adanya kata-kata yang menganndung akar kata yang sama tetapi tidak terdapat kemiripan arti, misalnya:
       v lut  mengandung arti : menggulung, melibat;
                                 Karo : ulut = menggulung
                              Melayu : bulut = bungkus dengan cepat
Tetapi apa arti akar kata Ilut yang terdapat dalam kata-kata seperti:
       kalut = pikiran yang kacau
       belut = sejenis binatang air?
Persoalan di atas tidak perlu memusingkan kita, bila kita ingat bahwa dalam bahasa Indonesia sekarang pun terdapat homonim-homonim, di mana bentuk kata-kata itu sama tetapi tidak ada kemiripan arti, misalnya:
       Bisa = dapat, sanggup.
       Bisa = racun.
Jadi dalam masa purba pun tentu terdapat homonim-homonim pada akar kata. Hanya kita menghadapi kesulitan sekarang, sebab tidak dapat mencari arti yang tepat lagi atau kadang gagal sama sekali. Seandainya akar-akar kata itu masih produktif dipakai dalam pembentukan baik pembentukan kat maupun pembentukan macam lainnya, maka akan lebih mudah untuk mencari artinya. Lain halnya dengan kata-kata yang homonim dalam bahasa Indonesia sekarang; kita dapat menemukan artinya dengan mudah karena kita bisa mendapat kata-kata itu dalam suatu konteks. Dengan demikian kita dapat menafsirkan artinya berdasarkan hubungannya dalam konteks tertentu.
C. Pembentukan Kata Dasar
Dari bermacam-macam akar kata itu dapat dibentuk kata-kata dasar seperti yang ada sekarang dalam bahasa Indonesia. Pembentukan kata dasar tersebut dilakukan dengan berbagai cara:
a. Reduplikasi akar kata: gak + gak > gagak
                                     lit + lit       > lilit
                                     tun + tun   > tuntun, dan lain-lain.
b. Mendapat formatif (pembentuk) awalan: a-, i-, u-, ka-, sa-, ta-
    ka + bur > kabur
    se + bar > sebar
     a + lir    > alir
c. Mendapat formatif sisipan er, el, um, dan in:
    king + er > kering
    kan + um > kuman
d. Mendapat formatif akhiran: -an, -en, -n, dan -i
e. Penggabungan antar akar kata:
    ruk + sak > rusak (ruk = merusak, sak = membinasakan)
f. Ada pula kata dasar yang hany terdiri dari satu akar kata. Dalam hal ini kita dapati kata-kata dasar yang menyatakan:
  1. 1. Interjeksi: ah, hai, dan lain-lain.
  2. 2. Onomatope: sar, sir, sur, sis, dan lain-lain.
  3. 3. Kata-kata yang menyatakan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Kata-kata semacam ini banyak terdapat dalam bahasa Sunda dan Jawa, misalnya: bes, cup, rep, jlog, dan lain-lain.
  4. 4. Bahasa bayi: mam, mak, pak, dan lain-lain.
  5. 5. Kata-kata yang dipakai untuk panggilan orang: cih, nung, kak, kang, bi, dan lain-lain.
6.      D. Hukum van der Tuuk dan Kesepadanan Bunyi
7.      Di antara ahli bahasa Eropa yang pernah mengadakan perbandingan bahasa-bahasa Nusantara adalah H. N. van der Tuuk. Dari hasil penelitian, baik yang diadakan oleh ahli-ahli lain maupun oleh van der Tuuk sendiri, akhirnya tercapai suatu pendapat bahwa harus dengan tegas dibedakan dua macam trill (bunyi getar), yaitu /r/ palatal dan /R/ uvular. Fonem /R/ uvular biasanya berganti-gantian dengan /g/ dan /h/, sedangkan /r/ prepalatal biasanya bertukar dengan /d/ dan /l/. Pertukaran antara fonem-fonem ini di antara berbagai bahasa Nusantara dikenal dengan nama Hukum van der Tuuk I dan Hukum van der Tuuk II.
8.      Yang dimaksud dengan Hukum van der Tuuk I adalah saling bertukar antara fonem R-G-H, serta Hukum van der Tuuk II adalah pertukaran antara donem R-D-L.
9.      Sesungguhnya ada hubungan-hubungan yang teratur abtara fonem-fonem berbagai bahasa Nusantara. Kita dapat memperbanyak hubungan-hubungan ini misalnya antara b dan w. Ini sama sekali tidak berarti bahwa fonem /b/ dalam bahasa X akan selalu berganti dengan fonem /w/ dalam bahasa Y. Pertukaran ini tidak mutlak.
10.  Oleh karena itu harus diadakan koreksi terhadap istilah yang dipakai oleh ahli-ahli tersebut. Kita tidak bisa mempergunakan istilah IhukumI dalam hubungan ini, dan juga kita harus menghindari pemakaian istilah berganti atau bertukar . Bukti mana yang menjelaskan bahwa /b/ berubah menjadi /w/ atau /w/ berubah menjadi /b/? Secara deskriptif kita hanya bisa mencatat bahwa ada kesepadanan atau korespondensi antara bunyi-bunyi tersebut. Oleh karena itu untuk selanjutnya kita mempergunakan istilah lain yaitu kesepadanan bunyi atau korespondensi bunyi.
11.  Jadi dalam berbagai bahasa Nusantara terdapat kesepadanan bunyi atau korespondensi-korespondensi bunyi tertentu, misalnya:
12.  1. Ada kesepadanan bunyi antara /b/ dan /w/:
13.    tebu ( Melayu) — tewu (Ngaju Dayak) 
14.    besi (Melayu) — wesi (Jawa) 
15.  2. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /d/ - /l/:
16.    padi (Melayu) — pari (Lampung) — palay (Tagalog) 
17.  3. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /g/ - /h/
18.    Pari (Melayu) — padi (Bali) — pagi (Tagalog)
 
Morfologi II - Kata
Hampir semua tatabahasa sekarang mendasarkan pembagian jenis kata menurut Aristoteles. Sebenarnya Aristoteles sendiri tidak membagi kata-kata atas sepuluh jenis kata. Ia hanya meletakkan sisetmatikanya. Pembagian jenis kata mula-mula terdiri dari 8 jenis kata.
Ketika orang-orang Eropa lainnya berusaha menyusun tata bahasa dari bahasa-bahasa mereka menurut contoh tatabahasa Yunani-Latin, maka ditambahkan lagi jenis kata baru sesuai dengan sifat bahasa mereka yaitu Kata Sandang serta Kata Seru diberi status sebagai satu jenis kata. Dengan demikian kesepuluh jenis kata itu diterima dalam semua tatabahasa yang disusun berdasarkan tatabahasa Eropa.
Pembagian ini oleh kebanyakan orang dianggap keramat atau dianggap sebagai suatu dasar yang tak dapat dirubah lagi karena sudah mencapai titik kesempurnaan. Tetapi bila kita berpikir lebih dalam bahwa dasar pembagian itu bertolak dari kaidah-kaidah filsafat, sedangkan bahasa tidak selamanya harus diperlakukan dengan dasar-dasar filsafat, maka sudah tentu ada kelemahan-kelemahan dari pembagian di atas. Bahwa pengertian dan konsep yang diberikan kepada masing-masingnya itu mungkin masih dapat diterima, tetapi menempatkan kesepuluhnya dalam suatu klasifikasi yang disebut jenis kata agaknya sulit untuk diterima oleh ahli-ahli bahasa modern.
Walaupun demikian sebaiknya kita mengikuti dahulu cara pembagian mereka (Tradisional), memahami dasar-dasar yang dipergunakan untuk mengadakan klasifikasi jenis kata ini, menunjukkan kekurangan-kekurangannya, baru kemudian kita berusaha memberi suatu pembagian lain yang bertolak dari dasar-dasar yang lebih riil.
1. Pembagian Jenis Kata Menurut Tatabahasa Tradisional
Kesepuluh jenis kata yang biasa dibaca dalam tatabahasa tradisional adalah sebagai berikut:
  1. Kata Benda atau Nomina
  2. Kata Kerja atau Verba
  3. Kata Ganti atau Adjektif
  4. Kata Bilangan atau Numeralia
  5. Kata Keterangan atau Adverbia
  6. Kata sambung atau Konjuksi
  7. Kata Depan atau Proposisi
  8. Kata Sandang atau Artikel
  9. Kata Seru atau Interjeksi
  10.  
    Kata Benda atau Nomina
    Kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan. Selanjutnya kata-kata benda, menurut wujudnya, dibagi atas:
    1. Kata benda konkrit, dan
    2. Kata benda abstrak.
    Kata-kata benda konkrit adalah nama dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera, sedangkan kata benda abstrak adalah nama-nama benda yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Kata benda konkrit selanjutnya dibagi lagi atas:
    1. Nama diri
    2. Nama zat dan lain sebagainya.
    Dalam persoalan kata benda, bahasa-bahasa Barat, khususnya bahasa Yunani-Latin, mempunyai ciri-ciri yang khusus untuk menunjukkan bahwa kata tersebut adalah kata benda. Ciri-ciri itu meliputi:
    1. Perubahan bentuk berdasarkan fungsi kata itu dalam sebuah kalimat ( Casus ).
    2. Perubahan bentuk berdasarkan jumlah dari kata benda itu ( Numerus ). Bahasa Latin mengenal dua numeri: Singularis dan Pluralis atau Tunggal dan Jamak, sedangkan bahasa-bahasa Yunani dan Sansekerta mengenal tiga numeri: Singularis, Dualis dan Pluralis.
    3. Jenis kata dari kata benda itu (genus atau gender).
    Semua ciri itu tidak bisa diterapkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak menganal akan adanya casus, tidak mengenal akan adanya numerus juga tidak mengenal genus . Kita tidak perlu merasa bahwa bahasa Indonesia kekurangan sesuatu atau miskin akan sesuatu bentuk atau konsep. Tiap bahasa memiliki sifat-sifat yang khas. Sistem bahasa Indonesia dalam dirinya sendiri cukup sempurna untuk mengungkapkan segala sesuatunya sebagai pendukung kebudayaan bangsa Indonesia . Untuk itu perlu kita menggali (bukan meniru-niru) ciri-ciri yang masih tersembunyi dalam struktur bahasa ini, untuk dijadikan ciri kata bendanya. (Lihat Kata Benda pada Pembagian Jenis Kata Baru)
     Kata Kerja atau Verba
    Kata kerja adalah semua kata yang menyatakan perbuatan atau laku. Bila suatu kata kerja menghendaki adanya suatu pelengkap maka disebut kata kerja transitif , seperti memukul, menangkap, melihat, mendapat, dan sebagainya. Sebaliknya, bila kata kerja tersebut tidak memerlukan suatu objek maka disebut kata kerja intransitif , seperti menangis, meninggal, berjalan, berdiri dan sebagainya.
    Kata-kata dalam bahasa Yunani, Latin, Sansekerta jelas bias ditentukan sebagai kata kerja karena mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu bentuk verbal-finit . Bentuk verbal-finit adalah bentuk yang khusus yang hanya bias diambil oleh sebuah kata kerja. Bentuk finit (yang sudah dibatasi) dari suatu kata kerja tergantung dari beberapa hal berikut, yang sekaligus mengharuskan kita memakai bentuk-bentuk yang sesuai dengan itu, yaitu:
    1. Berdasarkan persona (orang: I, II, III/tunggal dan jamak)
    2. Berdasarkan ragamnya (pasif-aktif).
    3. Berdasarkan kalanya ( tempus, tense ).
    4. Berdasarkan cara ( modus : indikatif, impertaif, desideratif dan sebagainya).
    Perubahan bentuk kata kerja berdasarkan keempat hal di atas disebut konjugasi . Sedangkan perubahan, baik pada kata-kata benda (deklinasi) maupun pada kata-kata kerja (konjugasi) bersama-sama disebut fleksi . Itulah sebabnya bahasa-bahasa Barat disebut juga bahasa-bahasa Fleksi.
    Di samping perubahan bentuk-bentuk tersebut, bentuk-bentuk in-finitnya menunjukkan cirri-ciri khusus, yang sekaligus menjadi tanda pengenal bahwa kata tersebut adalah kata kerja. Misalnya semua kata yang berakhiran –are, -ere, -ere, dan ire- adalah kata kerja. Jadi jika kita menemukan kata seperti amare, cantare, delere, regere, dormire, dan lain-lain kita akan dapat memastikan bahwa kata-kata itu adalah kata kerja, walaupun kita tidak mengetahui artinya. Dengan demikian kata aegrotare yang berarti sakit dalam bahasa Latin akan langsung kita golongkan dalam kata kerja, tanpa melihat artinya. Tetapi bagaimana dengan kata sakit dalam bahasa Indonesia ?
    Oleh karena itu, kita harus mencari ciri-ciri untuk mejadi pegangan kata kerja dalam bahasa Indonesia. (Lihat Kata Kerja pada Pembagian Jenis Kata Baru)
    Kata Sifat atau Adjektif
    Menurut Aristoteles, kata sifat adalah kata yang menyatakan sifat atau hal keadaan dari suatu benda: tinggi, rendah, lama, baru, dan sebagainya.
    Adjektif dalam bahasa-bahasa Barat selalu harus selaras dengan kata benda yang diikuti dalam tiga hal, yaitu:
    1. dalam casus nya;
    2. dalam jumlahnya (numerus);
    3. dan dalam jenis kata (genus).
    Adjektif selanjutnya dapat mengambil bentuk-bentuk yang istimewa bila ditempatkan dalam tingkat-tingkat perbandingan (gradus comparationis), untuk membandingkan suatu keadaan dengan keadaan yang lain. Taraf-taraf perbandingan itu adalah:
    1. Tingkat biasa atau gradus positivus.
    2. Tingkat lebih atau gradus comparativus.
    3. Tingkat paling atau gradus superlativus.
    Selain dari ketiga tingkat perbandingan ini masih ada satu hal yang lain yaitu: keadaan yang sangat tinggi derajatnya, tetapi dengan tidak mengadakan perbandingan dengan urutan-urutan keadaan yang lain. Derajat semacam ini disebut elatif, misalnya:
          - Yang terpenting, ialah memilih kawan-kawan yang dapat dipercaya.
          - Gunung itu terlalu tinggi.
    Kedudukan jenis kata ini jelas dalam bahasa-bahasa Barat. Kata-kata ini bias dikenal segera karena bentuknya yang khusus yang diambil berdasarkan kata benda yang diikutinya (dalam hal genus, numerus, dan casus) maupun berdasarkan tingkat-tingkat perbandingannya.
    Apakah bahasa Indonesia juga memiliki ciri-ciri khusus untuk menentukan bahwa suatu kata adalah kata sifat? (Lihat Kata Sifat pada Pembagian Jenis Kata Baru)

    Kata Ganti atau Pronomina

    Yang termasuk dalam jenis kata ini adalah segala kata yang dipakai untuk menggantikan kata benda atau yang dibendakan. Pembagian Tradisional menggolongkan kata-kata ini ke dalam suatu jenis kata tersendiri. Ketentuan ini tidak dapat dipertahankan dari segi structural, karena kata-kata ini sama strukturnya dengan kata-kata benda lainnya. Oleh karena itu dalam usaha mengadakan pembagian jenis kata yang baru kita akan menempatkannya dalam suatu posisi yang lain dari biasa.
    Kata-kata ganti menurut sifat dan fungsinya dapat dibedakan atas:
    1. Kata Ganti Orang atau Pronomina Personalia
    Kata Ganti Orang dalam bahasa Indonesia adalah:
                                                 Tunggal             Jamak
                           Orang   I :       aku                     kami, kita
                           Orang  II :       engkau                kamu
                           Orang III :       dia                      mereka
    a. Untuk orang I
    Untuk orang pertama tunggal, guna menyatakan kerendahan diri dipakai kata-kata hamba, sahaya (Sansekerta: pengiring, pengikut), patik, abdi. Sebaliknya intuk mengungkapkan suasana yang agung atau mulia maka kata kami yag sebenarnya digunakan untuk orang pertama jamak dapat dipakai pula untuk menggantikan orang pertama tunggal. Ini disebut pluralis majestatis.
    b. Untuk orang II
    Untuk orang kedua tunggal dipakai paduka (Sansekerta: sepatu), tuan, Yang Mulia, saudara, ibu, bapak, dan lain-lain. Semuanya itu dipakai untuk menyatakan bahwa orang yang kita hadapi jauh lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Kata kamu yang sebenarnya merupakan kata ganti orang kedua jamak dipakai pula sebagai pluralis majestatis untuk menggantikan orang kedua tunggal. Tetapi pada masa sekarang ini nilai keagungan itu sudah tidak terasa lagi, karena terlalu sering dipakai.
    c. Untuk orang III
    Untuk orang ketiga dipergunakan juga kaata-kata beliau, sedang bagi yang telah meninggal dipakai kata mendiang, almarhum atau almarhumah.
    2. Kata Ganti Kepunyaan atau Pronomina Posesif
    Kata ganti kepunyaan adalah segala kata yang menggantikan kata ganti orang dalam kedudukan sebagai pemilik: -ku, -mu, -nya, kami, kamu, mereka. Sebenarnya pembagian ini dalam bahasa Indonesia tidak diperlukan sebab yang disebut kata ganti kepunyaan itu sama saja dengan kata ganti orang dalam fungsinya sebagai pemilik. Dalam fungsinya sebagai pemilik ini, kata-kata tersebut mengambil bentuk-bentuk ringkas dan dirangkaikan saja di belakang kata-kata yang diterangkannya.
         bajuku   = baju aku
         bajumu  = baju engkau
         bajunya  = baju n + ia
    Bentuk-bentuk ringkas ini yang diletakkan di belakang sebuah kata disebut enklitis . Bentuk enklitis ini dipakai juga untuk menunjukkan fungsi kata ganti orang, bila kata ganti orang itu menduduki jabatan obyek atau mengikuti suatu kata depan:
    padaku, padamu, padanya, bagiku, bagimu, baginya, dan lain-lain.
    Apabila bentuk-bentuk ringkas itu dirangkaikan di depan sebuah kata disebut proklitis , misalnya kupukul, kaupukul.
    Di atas telah disinggung bahwa apa yang dinamakan kata ganti kepunyaan itu dalam bahasa Indonesia tidak pelu ada. Bahwa dalam bahasa Yunani-Latin terdapat konsepsi ini, hal itu sejalan dengan struktur bahasa-bahasa tersebut. Sebagai contoh, kata saya dalam bahasa Latin adalah ego dengan mengambil bermacam-macam bentuk sesuai dengan fungsinya dalam kalimat: ego, mei, mihi, me; tetapi dalam fungsinya sebagai pemilik terdapat bentuk meus, yang akan mengambil semua bentuk sebagai kata-kata sifat sesuai dengan kata benda yang diikutinya: meus, mei, meo, dan lain-lain. Jadi kata meus memiliki deklinasi tersendiri. Bahasa Indonesia tidak demikian. Dalam segala hal kata saya, misalnya, tetapi tidak berubah: saya berjalan, abang memukul saya, ia memberi sebuah buku kepada saya, ia mengambil buku saya, dan sebagainya. Kata saya dalam buku saya tidak mengurangi pengertian kita bahwa kata itu adalah pengganti orang dengan fungsi sebagai pemilik sesuatu.
    3. Kata Ganti Penunjuk atau Pronomina Demonstratif
    Kata Ganti Penunjuk adalah kata-kata yang menunjuk dimana terdapat suatu benda. Dalam masyarakat bahasa Melayu Lama, atau lebih dahulu lagi, seharusnya orang mengenal tiga macam kata ganti penunjuk:
    1. Menunjuk sesuatu di tempat pembicara : ini
    2. Menunjuk sesuatu di tempat lawan bicara : itu
    3. Menunjuk sesuatu di tempat orang ketiga : *ana.
    enunjukan benda pada tempat orang ketiga pada waktu sekarang disamakan saja dengan penunjukan pada tempat orang kedua yaitu dengan mempergunakan kata itu. Berdasarkan perbandingan dengan beberapa bahasa Daerah, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kata *ana untuk menunjukkan benda pada tempat orang ketiga harus ada pada jaman dahulu, seperti pada bahasa Jawa misalnya, ketiga bentuk itu masih ada: iki, iku, ika. Penunjukan pada tempat orang ketiga dalam bahasa Indonesia lama kelamaan mundur atau kurang dipergunakan, akhirnya hilang sama sekali dari perbendaharaan bahasa Indonesia. Walaupun demikian kita masih menemukan residu dalam pemakaian sehari-hari, seperti: sana, sini, situ.
    4. Kata Ganti Penghubung atau Pronomina Relatif
    Kata Ganti Penghubung ialah kata yang menghubungkan anak kalimat dengan suatu kata benda yang terdapat dalam induk kalimat. Fungsi kata ganti penghubung antara lain:
    1. Menggantikan kata benda yang terdapat dalam induk kalimat.
    2. Menghubungkan anak kalimat dengan induk kalimat.
    Kata Ganti Penghubung dalam bahasa Indonesia yang umum diterima adalah yang. Dalam sejarah pertumbuhan bahasa Indonesia kata yang mula-mula tidak mempunyai fungsi relatif seperti sekarang. Dahulu yang hanya berfungsi sebagai penentu atau penunjuk. Lambat laun fungsi-fungsi itu menghilang dan nyaris tidak dirasakan lagi. Walaupun demikian masih terdapat residu-residu dungsi tersebut dalam pemakaian kita sehari-hari:
          Yang buta dipimpin
          Yang lumpuh diusung
          Ia berkata kepada sekalian yang hadir
          Yang besar harus memberi contoh kepada yang kecil.
    Kata yang sebenarnya terbentuk dari kata ia (sebagai penunjuk) dan ng sebagai penentu. Ia sebenarnya adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang juga dipergunakan sebagai penunjuk, serta unsure ng itu biasa dipergunakan dalam bahasa Indonesia Purba dengan fungsi penentu. Dengan demikian fungsi yang sejak dari awal perkembangannya hingga sekarang dapat diurutkan sebagai berikut:
    1. Sebagai penunjuk
    2. Sebagai penentu (penekan)
    3. Sebagai penghubung dan pengganti
    Selain kata yang, terdapat lagi satu kata ganti penghubung yang lain, yang benar-benar bersifat Indonesia asli, terutama bila menggantikan suatu keterangan atau tempat, yaitu kata tempat. Karena pengarug bahasa-bahasa Barat, orang sering lupa akan kata ganti penghubung ini, serta menterjemahkan ungkapan-ungkapan asli dengan kata-kata yang sebenarnya tidak sesuai dengan selera bahasa Indonesia, misalnya:
            Rumah di mana kami tinggal
            Lemari di dalam mana saya menyimpan buku
    Kalimat-kalimat di atas akan terasa lebih baik bila dikatakan:
            Rumah tempat kami tinggal
            Lemari tempat saya menyimpan buku
    Jadi, kita tidak perlu mengikatkan diri kepada konstruksi-konstruksi asing yang tidak sesuai dengan jalan bahasa Indonesia. Fungsi kata tempat sebagai penghubung tampak jelas dari contoh-contoh di atas. Di samping itu kita tidak perlu terikat kepada satu konstruksi, tetapi bias mencari variasi-variasi lain tetapi yang asli Indonesia.
    . Kata Ganti Penanya atau Pronomina Interogatif
    Kata Ganti Penanya adalah kata yang menanyakan tentang benda, orang atau sesuatu keadaan. Kata Ganti Penanya dalam bahasa Indonesia adalah:
    1. Apa : untuk menanyakan benda
    2. Siapa : (si + apa) untuk menanyakan orang
    3. Mana : untuk menanyakan pilihan seseorang atau beberapa hal atau barang.
    Kata-kata Ganti Penanya di atas dapat dipakai lagi dengan bermacam-macam penggabungan dengan kata-kata depan, seperti:
           dengan apa           dengan siapa            dari mana
           untuk apa              untuk                       siapa ke mana
           buat apa k             kepada siapa
    Selain dari kata-kata tersebut ada pula kata-kata ganti penanya yang lain bukan menanyakan orang atau benda tetapi menanyakan keadaan, perihal dan sebagainya:
           mengapa               bagaimana
           berapa                  kenapa (pengaruh bahasa Jawa)
    6. Kata Ganti Tak Tentu atau Pronomina Indeterminatif
    Kata Ganti Tak Tentu adalah kata-kata yang menggantikan atau menunjukkan benda atau orang dalam keadaanyang tidak tentu atau umum, misalnya:
           masing-masing         siapa-siapa            seseorang
           sesuatu                    barang para
           salah (salah satu…)
    Kata barang dalam bahasa Melayu Lama masih mempunyai peranan yang cukup penting karena masih sering digunakan:
           Barang siapa melanggar peraturan harus ditindak tegas
           Barang apa yang dikerjakannya pasti berhasil
           Berilah aku barang sedikit.   






    Kata Bilangan atau Numeralia
    Kata Bilangan adalah kata yang menyatakan jumlah benda atau jumlah kumpulan atau urutan tempat dari nama-nama benda.
    Menurut sifatnya kata bilangan dapat dibagi atas:
    1. Kata Bilangan Utama (Numeralia Caedinalia): satu, dua, tiga, empat, seratus, seribu, dan sebagainya.
    2. Kata Bilangan Tingkat (Numeralia Ordinalis): pertama, kedua, ketiga, kelima, kesepuluh, keseratus, dan sebagainya.
    3. Kata Bilangan Tak Tentu: beberapa, segala, semua, tiap-tiap dan sebagainya.
    4. Kata Bilangan Kumpulan: kedua, kesepuluh, dan sebagainya; bertiga, berdua, bersepuluh.
    Catatan :
    a. Dari segi morfologi tidak ada perbedaan antara kata bilangan tingkat dan kata bilangan kumpulan yang memakai prefiks ke-. Tetapi dalam distribusi kalimat nampaklah perbedaan struktur keduanya, yaitu kata bilangan tingkat tempatnya selalu mengikuti kata benda sedangkan kata bilangan kumpulan selalu mendahului kata benda.
                 Kata bilangan tingkat             Kata bilangan kumpulan
                 bangku yang kedua                    kedua bangku itu
                 permainan kesepuluh                  kesepuluh permainan itu
                 soal yang ketiga                         ketiga soal itu
    b. Mengenai kata bilangan utama, perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
    1. Kata-kata delapan, sembilan, bukanlah kata bilangan utama asli, tetapi merupakan kata jadian yang kini sudah tidak dirasakan lagi.
    Kata-kata tersebut berasal dari:
    Delapan > dua alapan (= dua ambilan, yaitu dua diambil dari sepuluh).
    Sembilan > sa ambilan (= diambil satu dari sepuluh)
    2. Orang-orang Nusantara dahulu mengenal bilangan yang paling tinggi hanya sampai ribuan. Akibat adanya kontak dengan negeri-negeri lain, terutama India, mereka menerima bilangan yang lebih tinggi dari ribuan. Karena perkenalan mereka dengan orang-orang India, mereka memasukkan kata-kata laksa, keti, dan juta. Tetapi pada mulanya dalam bahasa Sansekerta kata-kata itu mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi yaitu:
           Laksa  : Sansekerta : 100.000
           Keti : Sansekerta : 10.000.000
    Bagi orang-orang Nusantara waktu itu, bilangan itu terlalu samar-samar, sedangkan di pihak lain mereka memerlukan istilah untuk bilangan genap sesudah seribu; karena itu laksa diturunkan nilanya menjadi 10.000, sedangkan keti diturunkan menjadi 100.000.
    3. Bilangan yang lebih dari satu juta biasanya dipinjam dari istilah-istilah Barat. Namun ada dua sistem yang biasa digunakan yaitu system Perancis dan Amerika, yang diikuti Indonesia , dan sistim Inggris dan Jerman.
    4. Kata bilangan biasanya ditulis dengan angka Arab, dan dalam hal tertentu dipergunakan juga angka Romawi.
     KATA BANTU BILANGAN
    Dalam menyebut berapa jumlah suatu barang, dalam bahasa Indonesia tidak saja dipakai kata bilanganm tetapis elalu dipakai suatu kata yang menerangkan sifat atau macam barang itu. Kata-kata semacam itu disebut kata bantu bilangan.
    Di antara kata-kata bantu bilangan yang selalu atau sering dipakai dalam bahasa Indonesia adalah:
    Orang : untuk manusia.
    Ekor : untuk binatang.
    Buah : untuk buah-buahan, dan macam-macam benda atau hal yang lain pada umumnya.
    Batang : untuk barang-barang yang bulat panjang bentuknya seperti pohon, rokok dan lain-lain.
    Bentuk : untuk barang-barang yang dapat dibengkokkan atau dilenturkan seperti cincin, mata kail, gelang dan sebagainya.
    Belah : untuk barang-barang yang mempunyai pasangan seperti mata, telinga, dan sebagainya.
    Bidang : untuk barang-barang yang luas dan rata seperti tanah.
    Helai : untuk kertas, daun, baju, kain, dan lain-lain.
    Bilah : untuk barang-barang tajam seperti pisau, pedang, keris, dan sebagainya.
    Utas : untuk barang-barang yang panjang seperti tali, benang, rantai, dan sebagainya.
    Potong : untuk bagian-bagian atau potongan dari suatu barang.
    Butir : untuk benda-benda yang bundar kecil bentuknya seperti telur, intan, beras, dan sebagainya.
    Tangkai : untuk bunga.
    Pucuk : untuk surat , meriam, senapan.
    Carik : untuk sobekan-sobekan kertas, kain, dan sebagainya.
    Rumpun : untuk tumbuh-tumbuhan yang tumbuhnya berkelompok seperti tebu, bambu, dan sebagainya.
    Keping : untuk barang-barang yang tipis seperti papan, mata uang.
    Biji : untuk barang-barang yang kecil seperti mata, kerikil, dan sebagainya.
    Kuntum : untuk bunga.
    Patah : untuk kata.
    Kaki : untuk bunga, payung.
    Laras : untuk bedil, senapan.
     Kata Keterangan atau Adverbia
    Kata-kata Keterangan atau adverbia adalah kata –kata yang memberi keterangan tentang:
    1. Kata Kerja
    2. Kata Sifat
    3. Kata Keterangan
    4. Kata Bilangan
    5. Seluruh Kalimat
    Kata keterangan secara tradisional dapat dibagi-bagi lagi atas beberapa macam berdasarkan artinya atau lebih baik berdasarkan fungsinya dalam kalimat, yaitu:
    A. Kata Keterangan Kualitatif (Adverbium Kualitatif)
    Adalah Kata Keterangan yang menerangkan atau menjelaskan suasana atau situasi dari suatu perbuatan.
    Contoh: Ia berjalan perlahan-perlahan
                 Ia menyanyi dengan nyaring
    Biasanya Kata Keterangan ini dinyatakan dengan mempergunakan kata depan dengan + Kata Sifat. Jadi sudah tampak di sini bahwa Kata Keterangan itu bukan merupakan suatu jenis kata tetapi adalah suatu fungsi atau jabatan dari suatu kata atau kelompok kata dalam sebuah kalimat.
    B. Kata Keterangan Waktu (Adverbium Temporal)
    Adalah keterangan yang menunjukkan atau menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa dalam suatu bidang waktu: sekarang, nanti, kemarin, kemudian, sesudah itu, lusa, sebelum, minggu depan, bulan depan, dan lain-lain.
    Kata-kata seperti: sudah, telah, akan, sedang, tidak termasuk dalam keterangan waktu, sebab kata-kata tersebut tidak menunjukkan suatu bidang waktu berlangsungnya suatu tindakan, tetapi menunjukkan berlangsungnya suatu peristiwa secara obyektif.
    C. Kata Keterangan Tempat (Adverbium Lokatif)
    Segala macam kata ini memberi penjelasan atas berlangsungnya suatu peristiwa atau perbuatan dalam suatu ruang, seperti: di sini, di situ, di sana, ke mari, ke sana, di rumah, di Bandung, dari Jakarta dan sebagainya.
    Dari contoh-contoh di atas tyang secara konvensional dianggap Kata Keterangan Tempat, jelas tampak bahwa golongan kata ini pun bukan suatu jenis kata, tetapi merupakan suatu kelompok kata yang menduduki suatu fungsi tertentu dalam kalimat. Keterangan Tempat yang dimaksudkan dalam Tatabahasa-tatabahasa lama terdiri dari dua bagian yaitu kata depan (di, ke, dari) dan kata benda atau kata ganti penunjuk.
    D. Kata Keterangan Cara (Keterangan Modalitas)
    Adalah kata-kata yang menjelaskan suatu peristiwa karena tanggapan si pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut. Dalam hal ini subyektivitas lebih ditonjolkan. Keterangan ini menunjukkan sikap pembicara, bagaimana cara ia melihat persoalan tersebut. Pernyataan sikap pembicara atau tanggapan pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut dapat berupa:
    1. Kepastian : memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukannya, bukan.
    2. Pengakuan : ya, benar, betul, malahan, sebenarnya.
    3. Kesangsian : agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, dan lain-lain.
    4. Keinginan : moga-moga, mudah-mudahan.
    5. Ajakan : baik, mari, hendaknya, kiranya.
    6. Larangan : jangan.
    7. Keheranan : masakan, mustahil, mana boleh.
    Catatan: Kata tidak menyatakan kepastian dengan mengingkarkan sesuatu, begitu juga kata bukan. kata tidak dipakai untuk menyatakan ingkaran biasa, ingkaran pada perbuatan, keadaan, hal atau segenap kalimat, sedangkan bukan menyatakan suatu pertentangan dan menyangkal bagian dari suatu kalimat.

    E. Kata Keterangan Aspek
    Bila kata Keterangan Modalitas memberi penjelasan tentang tanggapan pembicara atas suatu peristiwa, maka Keterangan Aspek menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa secara obyektif, bahwa suatu peristiwa terjadi dengan sendirinya tanpa suatu pengaruh atau pandangan dari pembicara. Keterangan Aspek dapat dibagi-bagi lagi, antara lain:
    1. Aspek Inkoatif: menunjukkan suatu peristiwa pada proses permulaan berlangsungnya. Contoh: Saya pun berangkatlah.
    2. Aspek Duratif: keterangan aspek yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa tengah berlangsung: sedang, sementara.
    3. Aspek Perfektif: menyatakan bahwa suatu peristiwa telah mencapai titik penyelesaian: sudah, telah.
    4. Aspek Momental: menyatakan suatu peristiwa yang terjadi pada suatu saat yang singkat.
    5. Aspek Repetitif: menyatakan bahwa suatu perbuatan terjadi berulang-ulang. Contoh: Ia memukul-mukul anak itu. Dalam kata ‘memukul-mukul ' terkandung aspek repetitif, yaitu perbuatan memukul itu terjadi berulang-ulang.
    6. Aspek Frekuentatif: menunjukkan bahwa suatu peristiwa sering terjadi. Contoh: Dia sering ke mari.
    7. Aspek Habituatif: menyatakan bahwa perbuatan itu terjadi karena suatu kebiasaan. Contoh: Ia biasa membaca koran di bawah pohon itu.
    Catatan: Tidak ada keharusan bahwa keterangan aspek itu dinyatakan dengan jelas oleh suatu kata keterangan. Suatu kata kerja misalnya, dengan sendirinya sudah mengandung suatu aspek tertentu, atau hubungan kalimat tertentu akan menghasilkan suatu aspek tertentu pula.
    F. Kata Keterangan Derajat (Keterangan Kuantitatif)
    Adalah keterangan yang menjelaskan derajat berlangsungnya suatu peristiwa atau jumlah dan banyaknya suatu tindakan dikerjakan: amat, hampir, kira-kira, sedikit, cukup, hanya, satu kali, dua kali, dan seterusnya.
    G. Kata Keterangan Alat (Keterangan Instrumental)
    Adalah keterangan yang menjelaskan dengan alat apakah suatu proses itu berlangsung. Keterangan semacam ini biasanya dinyatakan oleh kata dengan + kata benda.
          Ia memukul anjing itu dengan tongkat.
          Anak itu meraih buah dengan galah.
    H. Keterangan Kesertaan (Keterangan Komitatif)
    Adalah keterangan yang menyatakan pengikutsertaan seseorang dalam suatu perbuatan atau tindakan.
          Saya pergi ke pasar bersama ibu.
    I. Keterangan Syarat (Keterangan Kondisional)
    Adalah keterangan yang menerangkan terjadinya suatu proses di bawah syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi: jikalau, seandainya, jika, dan sebagainya.
    J. Keterangan Perlawanan (Keterangan Konsesif)
    Adalah keterangan yang membantah sesuatu peristiwa yang telah dikatakan terlebih dahulu. Keterangan ini biasanya didahului oleh kata-kata meskipun, sungguhpun, biarpun, biar, meski, jika…sekalipun, biar… sekalipun.
     K. Keterangan Sebab (Keterangan Kausal)
    Adalah keterangan yang memberi keterangan mengapa sesuatu peristiwa dapat berlangsung. Kata-kata yang mnunjukkan keterangan sebab adalah: sebab, karena, oleh karena, oleh sebab, oleh karena itu, oleh karenanya, dan sebagainya.
    L. Keterangan Akibat (Keterangan Konsekuetif)
    Adalah keterangan yang menjelaskan akibat yang terjadi karena suatu peristiwa atau pebuatan. Akibat adalah hasil dari suatu perbuatan yang tidak diharapkan atau yang tidak dengan sengaja dicapai, tetapi terjadi dalam hubungan sebab-akibat. Keterangan ini biasanya didahului oleh kata-kata: sehingga, oleh karena itu, oleh sebab itu, dan lain-lain.
    M. Keterangan Tujuan (Keterangan Final)
    Adalah keterangan yang menerangkan hasil atau tujuan dari suatu proses. Tujuan itu pada hakekatnya adalah suatu akibat, tetapi akibat yang sengaja dicapai atau memang dikehendaki demikian. Kata-kata yang menyatakan keterangan tujuan adalah: supaya, agar, agar supaya, hendak, untuk, guna, buat.
    N. Keterangan Perbandingan (Keterangan Komparatif)
    Adalah keterangan yang menjelaskan suatu perbuatan dengan mengadakan perbandingan suatu proses dengan proses lain, suatu keadaan dengan keadaan yang lain. Kata-kata yang dipakai untuk menyatakan perbandingan itu adalah: sebagai, seperti, seakan-akan, laksana, umpama, bagaikan.
    O. Keterangan Perwatasan
    Adalah keterangan yang memberi penjelasan dalam hal-hal mana saja suatu proses berlangsung, dan mana yang tidak: kecuali, hanya.

     Kata Sambung atau Konjuksi
    Kata Sambung adalah kata yang menghubungkan kata-kata, bagian-bagian kalimat, atau menghubungkan kalimat-kalimat. Cara atau sifat menghubungkan kata-kata atau kalimat-kalimat itu dapat berlangsung dengan berbagai cara:
    1. Menyatakan gabungan: dan, lagi pula, serta.
    2. Menyatakan pertentangan: tetapi, akan tetapi, melainkan.
    3. Menyatakan waktu: apabila, ketika, bila, bilamana, demi, sambil, sebelum, sedang, sejak, selama, semenjak, sementara, seraya, setelah, tatkala, waktu.
    4. Menyatakan tujuan: supaya, agar.
    5. Menyatakan sebab: sebab, karena, karena itu, sebab itu.
    6. Menyatakan akibat: sehingga, sampai.
    7. Menyatakan syarat: jika, andaikata, asal, asalkan, jikalau, sekiranya, seandainya.
    8. Menyatakan pilihan: atau… atau…, …maupun, baik… baik…, entah… entah….
    9. Menyatakan bandingan: seperti, bagai, bagaikan, seakan-akan.
    10. Menyatakan tingkat: semakin… semakin…, kian… kian….
    11. Menyatakan perlawanan: meskipun, biarpun.
    12. Pengantar kalimat: maka, adapun, akan.
    13. Menyatakan penjelas: yakni, umpama, yaitu.
    14. Sebagai penetap sesuatu: bahwa.
     Kata Depan atau Preposisi
    Kata Depan menurut definisi tradisional adalah kata yang merangkaikan kata-kata atau bagian-bagian kalimat.
    Kata-kata Depan yang terpenting dalam bahasa Indonesia ialah:
    1. Di, Ke, Dari: ketiga macam kata depan ini dipergunakan untuk merangkaikan kata-kata yang menyatakan tempat atau sesuatu yang dianggap tempat.
    2. Pada: bagi kata-kata yang menyatakan orang, nama orang atau nama binatang, nama waktu atau kiasan dipergunakan kata pada untuk menggantikan di, atau kata-kata depan lain yang digabungkan dengan pada seperti daripada, kepada.
    3. Selain daripada itu terdapat Kata Depan yang lain, seperti: di mana, di sini, di situ, akan, oleh, dalam, atas, demi, guna, untuk, buat, berkat, terhadap, antara, tentang, hingga, dan lain-lain. Di samping itu ada beberapa Kata Kerja yang dipakai pula sebagai kata depan, yaitu: menurut, menghadap, mendapatkan, melalui, menuju, menjelang, sampai.
    Ada beberapa Kata Depan yang menduduki bermacam-macam fungsi yang istimewa, yang perlu kita beri perhatian, antara lain:
    1. Akan
    Kata Depan akan dapat menduduki beberapa macam fungsi:
    a. Pengantar obyek
       Contoh: Ia tidak tahu akan hal itu.
                   Aku lupa akan semua kejadian itu.
    b. Untuk menyatakan kejadian di masa yang akan datang.
       Contoh: Saya akan pergi ke Surabaya .
    c. Sebagai penguat atau penekan; dalam hal ini dapat berfungsi sebagai penentu.
       Contoh: Akan hal itu kita perundingkan kelak.
    2. Dengan
    Kata Depan dengan dapat menduduki beberapa macam fungsi, antara lain:
    a. Untuk menyatakan alat (instrumental).
       Contoh: Ia memukul anjing itu dengan tongkat.
    b. Menyatakan hubungan kesertaan (komitatif).
       Contoh: Ia berangkat ke sekolah dengan teman-temannya.
    c. Membentuk adverbial kualitatif.
       Contoh: Perkara itu diselidiki dengan cermat.
    d. Dipakai untuk menyatakan keterangan komparatif.
       Contoh: Adik sama tinggi dengan Ali.
    3. Atas
    Arti dan fungsi:
    a. Membentuk keterangan tempat, dalam hal ini sama artinya dengan di atas .
       Contoh: Kami menerima tanggung jawab itu di atas pundak kami.
    b. Menghubungkan Kata Benda atau Kata Kerja dengan keterangan.
       Contoh: Kami mengucapkan terimakasih atas kerja samanya.
    c. Dipakai di depan beberapa kata dengan arti dengan atau demi .
       Contoh: atas nama       atas kehendak
                   atas desakan    atas kemauan
    4. Antara
    Arti dan fungsi:
    a. Sebagai penunjuk jarak.
       Contoh: Jarak antara Surabaya dan Jakarta .
    b. Sebagai penunjuk tempat, dalam hal ini sama artinya dengan di antara .
       Contoh: Antara murid-murid itu, mana yang terpandai?
    c. Dapat pula berarti kira-kira.
       Contoh: Antara lima enam pekan ia meninggalkan pelajarannya.
     Kata Sandang atau Artikel
    Kata Sandang itu tidak mengandung suatu arti, tetapi memiliki fungsi. Dalam bagian mengenai kata ganti penghubung sudah dibicarakan pula tentang yang, yang pada mulanya hanya mengandung fungsi penentu . Itulah fingsi pertama dari Kata-kata Sandang.
    Adapun fungsi Kata Sandang seluruhnya dapat disusun sebagai berikut:
    1. Menentukan kata benda.
    2. Menstubstansikan suatu kata: yang besar, yang jangkung, dan sebagainya.
    Kata-kata Sandang yang umum dalam bahasa Indonesia adalah yang, itu, nya, si, sang, hang, dang . Kata-kata sang, hang dan dang banyak digunakan dalam kesusastraan lama; sekarang amat jarang digunakan lagi, kecuali sang , yang kadang-kadang digunakan untuk mengagungkan, kadang untuk menyatakan ejekan atau ironi.
    Kata Seru atau Interjeksi
    Oleh semua ahli tatabahasa, Kata Seru dianggap sebagai kata yang paling tua dalam kehidupan bahasa. Umat manusia tidak sekaligus mengenal sistem bahasa seperti saat ini. Dari awal mula perkembangan umat manusia, sedikit demi sedikit diciptakan sistem-sistem bunyi untuk komunikasi antar anggota masyarakat. Dan bentuk yang paling tua yang diciptakan untuk mengadakan hubungan atau komunikas itu adalah kata seru.
    Menurut Tatabahasa Tradisional kata seru diklasifikasikan sebagai suatu jenis kata. Bila melihat wujud dan fungsinya, maka ketetapak tersebut kurang dapat diterima. Interjeksi sekaligus mengungkapkan semua perasaan dan maksud seseorang, berarti interjeksi sudah termasuk dalam bidang sintaksis. Atau dengan kata lain apa yang dinamakan kata seru itu bukanlah kata melainkan semacam kalimat.
    Bermacam-macam interjeksi yang dikenal hingga sekarang dalam kehidupan masyarakat bahasa Indonesia adalah:
    1. Interjeksi asli: yah, wah, ah, hai, o, oh, cih, nah, dan lain-lain.
    2. Interjeksi yang berasal dari kata-kata biasa. Yang dimaksud dengan interjeksi ini adalah kata-kata benda atau kata-kata lain yang digunakan atau biasa digunakan sebagai kata seru: celaka, masa, kasihan, dan lain-lain.
    3. Interjeksi yang berasal dari ungkapan-ungkapan, baik ungkapan Indonesia asli maupun ungkapan asing: ya ampun, Insya Allah, Astaghfirullah, dan lain-lain.
     Pembagian Jenis Kata Baru
    Bila kita memperhatikan pembagian jenis kata menurut tatabahasa tradisional tampaklah bahwa ada kekacauan dalam penggolongan jenis kata itu. Kekacauan itu terjadi karena tidak tegas diadakan perbedaan antara jenis kata dan fungsi kata. Kita lihat misalnya kata-kata seperti: di, ke, pada, dengan, dari, dimasukkan dalamkata depan, tetapi di tempat lain gabungan kata-kata itu dengan suatu kata benda dijadikan kata keterangan. Begitu pula kata perangkai dimasukkan dalam satu jenis kata tetapi di pihak lain dimasukkan pula dalam kata keterangan.
    Kata ganti dalam segala strukturnya tidak banyak berbeda dengan kata benda, karena memang kata-kata itu hanya menggantikan kata-kata benda dalam keadaan tertentu. kata seru, seperti ternyata dalam batasan yang diberi oleh berbagai tatabahasa, telah menunjukkan bahwa bidang geraknya adalah kalimat, jadi tidak bias disebut begitu saja sebagai suatu jenis kata. Apa yang disebut kata seru itu sudah sebulat-bulatnya merupakan kalimat, atau lebih tegas miniaturnya kalimat, karena bentuk tersebut sudah disertai dengan intonasi yang selengkap-lengkapnya seperti pada jenis-jenis kalimat lainnya.
    Pendeknya penggolongan dengan cara kerja Aristoteles tidak dapat diterima begitu saja. Harus diadakan penyempurnaan atau sama sekali merubah cara kerja tersebut. Pada abad ke-16, seorang ahli tatabahasa Spanyol, Sanches de las Brozas, telah mengajukan suatu pembagian jenis kata yang lebih rasional dan struktural atas: nomen, verbum, dan particular. Tetapi pada abad ke-19 ahli-ahli tatabahasa barat lainnya kembali lagi ke dalam alam pikiran Yunani-Latin, dan mengajukan 10 jenis kata seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
    Dengan adanya perkembangan Linguistik Modern, persoalan di atas sekali lagi timbul dalam pembahasan-pembahasan mereka. Ahli-ahli Linguistik Modern berusaha mencari suatu kaidah untuk menggolong-golongkan jenis kata yang lebih struktural. Walaupun belum terdapat suatu ketentuan yang diterima oleh segenap ahli-ahli Linguistik Modern, namun dasar yang digunakan untuk mengadakan penggolongan baru, dapat memberi keyakinan bahwa dasar itu lebih seragam dan rasional.
    Untuk sementara, berdasarkan struktur morfologisnya, kata-kata dapat dibagi atas empat jenis kata yaitu:
    1. Kata Benda
    2. Kata Kerja
    3. Kata Sifat
    4. Kata Tugas
    Yang dimaksud dengan struktur morfologis adalah bidang bentuk yang memberi ciri khusus terhadap kata-kata itu. Bidang bentuk itu meliputi kesamaan morfem-morfem yang membentuk kata-kata itu, atau juga kesamaan ciri dan sifat dalam membentuk kelompok katanya. Dengan demikian kita mempunyai suatu dasar penggolongan yang sama dikenakan kepada semua kata dalam suatu bahasa. Tiap-tiap bahasa mempuyai cara khusus untuk kedua segi dalam bidang morfologi ini.
     Kata Benda atau Nomina
    Untuk menentukan apakah suatu kata masuk ke dalam kategori kata benda atau tidak keta mempergunakan dua prosedur:
    1. Melihat dari segi bentuk
    2. Melihat dari segi kelompok kata (frase)
    a. Bentuk
    Segala kata yang mengandung morfem terikat (imbuhan): ke-an, pe-an, pe-, -an, ke-, kita calonkan sebagai kata benda: perumahan, perbuatan kecantikan, pelari, jembatan, kehendak, dan lain-lain. Tetapi di samping itu harus diingat bahwa ada sejumlah besar kata yang tidak dapat ditentukan masuk kata benda berdasarkan bentuknya, walaupun kita tahu bahwa itu adalah kata benda, seperti meja, kursi, rumah, pohon, kayu, dan lain-lain. Tetapi kedua macam kata ini, baik yang berimbuhan maupun tidak, akan bertemu dalam prosedur selanjutnya.
    b. Kelompok Kata
    Kedua macam kata benda itu (baik yang berimbuhan maupun yang tidak berimbuhan) dapat mengandung suatu ciri struktural yang sama yaitu dapat diperluas dengan yang + Kata Sifat.
    Contoh: perumahan yang baru
                pelari yang cepat
                meja yang besar
    Jadi dilihat dari struktur bahasa Indonesia segala kata yang digolongkan dalam kata benda haruslah mengandung ciri-ciri itu, dan dengan sendirinya ciri-ciri itu akan menjadi dasar untuk memberi batasan terhadap kata benda. Dengan cara ini setiap orang dapat menetapkan sendiri tanpa suatu kesulitan apakah suatu kata itu benda atau tidak.
    Batasan: Segala macam kata yang dapat diterangkan atau diperluas dengan yang + kata sifat adalah kata benda.
    c. Transposisi
    Suatu kata yang asalanya dari suatu jenis kata, dapat dipindahkan jenisnya ke jenis kata yan lain. Pemindahan itu dapat terjadi karena ditambahkan imbuhan-imbuhan atau partikel, atau kadang-kadang terjadi dengan tidak menambahkan imbuhan. Kata lari, sebenarnya merupakan kara kerja, tetapi dengan menambahkan prefiks pe-, kita dapat memindahkan jenis katanya menjadi kata benda: pelari. Dengan partikel-partikel, misalnya: si kecil, berat nya, sang jenaka, dan lain-lain. Sebaliknya ada kata-kata benda yang dapat ditransposisikan menjadi kata kerja, misalnya: kopi menjadi mengopi, lubang menjadi melubangi, dan sebagainya.
    d. Sub-Golongan Kata Benda
    Karena kata-kata ganti adalah kata-kata yang menduduki tempat-tempat kata benda dalam hubungan atau posisi tertentu, serta strukturnya sama dengan kata benda, maka kata-kata ganti, yang oleh pembagian Tradisional diberi jenis tersendiri, sebaiknya dimasukkan dalam jenis kata benda, dan diperlakukan sebagai suatu sub-golongan dari kata benda.
    Mengapa harus menjadi sub-golongan, dan bukan langsung menjadi kata benda? Karena kata-kata tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri dan jumlahnya pun terbatas. Dengan melalui substitusi, kata-kata itu menduduki segala macam fungsi yang dapat diduduki oleh suatu kata benda.
    Contoh: Ali pergi ke sekolah             Ia pergi ke sekolah
                Guru mengajar                   Ali Guru mengajarnya
     Kata Kerja atau Verba
    a. Bentuk
    Segala kata yang mengandung imbuhan me-, ber-, - kan , di-, -i, kita calonkan menjadi kata kerja. Tetapi di samping itu ada pula sejumlah kata jkerja yang tidak mengandung unsur-unsur itu, tetapi secara tradisional dalam kata kerja: tidur, bangun, pergi, datang, terbang, turun, naik, mandi, makan, minum, dan lain-lain. Nama apa pun yang diberikan kepada jenis kata kerja ini (ada yang mengatakan kata kerja aus, ada pula yang menamakannya kata kerja tanggap) tak menjadi soal, karena itu hanya soal nama, walaupun kita harus kritis dalam memberi nama. Namun untuk sementara soal nama bagii kita hanya sekedar merupakan etiket pengenal golongan kata itu. Yang paling penting adalah kita mencari ciri-ciri bagi kedua golongan kata kerja ini, agar kita tidak berselisih paham mengenai jenis katanya. Di samping ciri-ciri bentuk seperti yang telah disebut di atas, kedua macam kata kerja itu mempunyai suatu kesamaan struktur dalam kelompok kata.
    b. Kelompok Kata
    Segala macam kata yang tersebut di atas, dalam segi kelompok kata mempunyai suatu kesamaan struktur yaitu dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat, misalnya:
         Ia berjalan dengan cepat. 
        Anak itu tidur dengan nyenyak. 
    Untuk memberi contoh penerapan prosedur ini, kita bertanya apakah kata buat, mendengar, tidur, memperbaiki, adalah kata kerja? Berdasarkan ciri di atas dapat kita katakan, kata-kata mendengar dam memperbaiki adalah kata kerja berdasarkan bentuknya, yaitu mengandung afiks me- dan ­ –kan. Sedangkan dari segi kelompok kata (frraseologis) keempat kata itu dapat diperluas dengan dengan + kata sifat, misalnya:
        Buat dengan cepat; buat dengan cermat. 
        Tidur dengan nyenyak; tidur dengan gelisah. 
    Batasan: Segala macam kata yang dapat diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat adalah kata kerja.
    c. Transposisi
    kata-kata kerja oun dapat dipindahkan jenisnya ke jenis kata lain dengan pertolongan morfem-morfem terikat, misalnya menyanyi menjadi penyanyi, nyanyian; mendengar menjadi pendengar, pendengaran, dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya, kata-kata benda atau kata-kata sifat dapat ditransposisikan menjadi kata kerja, seperti: besar menjadi membesarkan, tinggi manjadi meninggikan, dan sebagainya.