Minggu, 17 April 2011

Fonologi


Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya. Hal-hal yang dibahas dalam fonologi antara lain sebagai berikut.
Bunyi Ujaran
Bila kita ditempatkan di tengah-tengah suatu lingkungan masyarakat yang menggunakan suatu bahasa yang tak kita pahami sama sekali, serta mendengar percakapan antar penutur-penutur bahasa itu, maka kita mendapat kesan bahwa apa yang merangsang alat pendengar kita itu merupakan suatu arus-bunyi yang di sana-sini diselingi perhentian sebentar atau lama menurut kebutuhan penuturnya. Bila percakapan itu tarjadi antara dua orang atau lebih, akan tampak pada kita bahwa sesudah seseorang menyelesaikan arus-bunyinya itu, maka yang lain akan mengadakan reaksi . Reaksinya dapat berupa : mengeluarkan lagi arus-bunyi yang tak dapat kita pahami itu, atau melakukan suatu tindakan tertentu.
Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa apa yang dalam pengertian kita sehari-hari disebut bahasa itu meliputi dua bidang yaitu : bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi tadi; bunyi itu merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, serta arti atau makna adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi itu. Untuk selanjutnya arus-bunyi itu kita namakan arus-ujaran.
Bila kita mengadakan pemotongan suatu arus-ujaran atas bagian-bagian atau segmen-segmen, dan bagian-bagian itu dipotong-potong lagi dan seterusnya, akhirnya kita sampai kepada unsur-unsur yang paling kecil yang disebut bunyi-ujaran . Tiap bunyi ujaran dalam suatu bahasa mempunyai fungsi untuk membedakan arti. Bila bunyi-ujaran itu sudah dapat membedakan arti maka ia disebut fonem ( phone = bunyi, -ema = suatu akhiran dalam bahasa Yunani yang berarti mengandung arti ).
Bila kita melihat deretan kata-kata seperti: lari, dari, tari, mari, atau deretan lain seperti: dari, daki, dasi, dahi, dan sebagainya, dengan jelas kita melihat bahwa bila suatu unsur diganti dengan unsur lainnya akan terjadi pula akibat yang besar yaitu: perubahan arti yang terkandung dalam kata itu. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa kesatuan-kesatuan yang kecil yang terjadi dari bunyi-ujaran itu mempunyai peranan dalam membedakan arti.
Batasan: Fonem adalah kesatuan yang terkecil yang terjadi dari bunyi-ujaran yang dapat membedakan arti.





Fonetik dan Fonemik
Bagian dari Tatabahasa yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya dalam Ilmu Bahasa disebut fonologi .
Fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yaitu Fonetik dan Fonemik .
Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.
Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
Alat Ucap
Kita tidak akan memahami sebaik-baiknya segala macam bunyi-ujaran bila kita tidak mengetahui sebaik-baiknya tetntang alat ucap yang menghasilkan bunyi-bunyi tersebut. Sebab itu dalam Fonologi dipelajari juga bagian-bagian tubuh yang ada sangkut-pautnya dengan menghasilkan bunyi-ujaran tersebut.
Bunyi-ujaran dihasilkan oleh berbagai macam kombinasi dari alat-ucap yang terdapat dalam tubuh manusia. Ada tiga macam alat-ucap yang perlu untuk menghasilkan suatu bunyi-ujaran, yaitu:
  1. Udara : yang dialirkan keluar dari paru-paru.
  2. Artikulator : bagian dari alat-ucap yang dapat digerakkan atau digeserkan untuk menimbulkan suatu bunyi.
  3. Titik artikulasi : ialah bagian dari alat-ucap yang menjadi tujuan sentuh dari artikulator.
Dalam menimbulkan bunyi-ujaran /k/ misalnya, dapat kita lihat kerja sama antara ketiga faktor tersebut dia atas. Mula-mula udara mengalir keluar dari paru-paru, sementara itu bagian belakang lidah bergerak ke atas serta merapat ke langit-langit lembut. Akibatnya udara terhalang. Dalam hal ini belakang lidah menjadi artikulatornya, karena belakang lidah merupakan alat-ucap yang bergerak atau digerakkan, sedangkan langit-langit lembut menjadi titik artikulasinya, karena dia tidak bergerak, dia menjadi tempat tujuan atau tempat sentuh belakang lidah.
Yang termasuk alat-ucap adalah: paru-paru (tempat asal aliran udara), tenggorokan, di ujung atas tenggorokan ( laring ) terdapat pita suara. Ruang di atas pita suara hingga ke perbatasan rongga hidung disebut faring . Alat-alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut adalah: bibir ( labium ), gigi ( dens ), lengkung kaki gigi ( alveolum ), langit-langit keras ( palatum ), langit-langit lembut ( velum ), anak tekak ( uvula) , lidah, yang terbagi lagi atas beberapa bagian yaitu: ujung lidah ( apex ), lidah bagian depan, lidah bagian belakang dan akar lidah.
Di samping rongga-rongga laring, faring dan rongga mulut sebagaimana telah disebutkan di atas, rongga hidung juga memainkan peranan yang penting dalam menghasilkan bunyi.

Pita Suara
Di ujung atas laring terdapatlah dua buah pita yang elastis yang disebut pita suara . Letak pita suara itu horizontal. Antara kedua pita suara itu terdapat suatu celah yang disebut glotis . Dalam menghasilkan suatu bunyi, pita suara itu dapat mengambil empat macam sikap yang penting:
  1. Antara kedua pita suara terdapat celah ( glotis ). Celah ini pada suatu saat terbuka lebar , serta udara yang mengalir keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan sehingga tidak terdengar geseran sedikitpun. Bunyi yang dihasilkan dengan posisi ini adalah: /h/.
  2. Kebalikan dari posisi di atas adalah sikap di mana pita suara tertutup rapat . Udara yang keluar dari paru-paru ditahan oleh pita suara yang tertutup rapat terbentang tegang menutup laring. Bunyi yang dihasilkan dengan sikap ini adalah bunyi hamzah ( glotal stop ). Bunyi ini biasanya dilambangkan dengan /?/, atau dalam ejaan lama dipergunakan tanda (').
  3. Posisi yang ketiga adalah bagian atas dari pita suara terbuka sedikit ; udara yang keluar dapat juga menggetarkan pita suara. Segala macam bunyi-ujaran lainnya terjadi dengan sikap pita suara ini. Bila udara yang keluar itu turut menggetarkan pita suara maka terjadilah bunyi-ujaran yang bersuara ; bila pita suara tidak turut digetarkan maka terjadilah bunyi-ujaran yang tak bersuara.
  4. Sikap yang keempat adalah bagian bawah dari pita suara terbuka sedikit . Dalam sikap ini kekuatan udara itu hilang atau berkurang sehingga segala macam bunyi-ujaran yang dihasilkan dengan sikap III berkurang juga. Peristiwa ini terjadi ketika berbisik.
Konsonan
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan, maka terjadilah bunyi yang disebut konsonan . Halangan yang dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu.
Dengan memperhatikan bermacam-macam factor untuk menghasilkan konsonan, maka kita dapat membagi konsonan-konsonan:
  1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya.
  2. Berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar.
  3. Berdasarkan turut-tidaknya pita suara bergetar.
  4. Berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran.
Batasan : Konsonan adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan.
1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya, konsonan-konsonan dapat dibagi atas:
a. Konsonan bi-labial, bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah bibir: /p/, /b/, /m/, dan /w/. Karena kedua belah bibir sama-sama bergerak, serta keduanya juga menjadi titik sentuh dari bibir yang lainnya, maka sekaligus mereka bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi.
b. Konsonan labio-dental, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulatornya: /f/ dan /v/.
c. Konsonan apiko-interdental, adalah bunyi yang terjadi dengan ujung lidah yang bertindak sebagai artikulator dan daerah antar gigi sebagai titik artikulasinya: /t/ dan /n/.
d. Konsonan apiko-alveolar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi sebagai titik artikulasinya: /d/ dan /n/.
e. Konsonan palatal, adalah bunyi yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah sebagai artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasinya: /c/, /j/, dan /ny/.
f. Konsonan velar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh belakang lidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasinya: /k/, /g/, /ng/, dan /kh/.
g. Hamzah (glottal stop), adalah bunyi yang dihasilkan dengan posisi pita suara tertutup sama sekali, sehingga menghalangi udara yang keluar dari paru-paru. Celah antara kedua pita suara tertutup rapat.
h. Laringal, adalah bunyi yang terjadi karena pita suara terbuka lebar. Bunyi ini dimasukkan dalam konsonan karena udara yang keluar mengalami gesekan.
2. Berdasarkan halangan yang dijumpai udara ketika keluar dari paru-paru, konsonan dapat pula dibagi-bagi atas:
a. Konsonan hambat (stop), merupakan konsonan yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru sama sekali dihalangi: /p/, /b/, /k/, /t/, /d/, dll. Dalam pelaksanaannya, konsonan hambat dapat disudahi dengan suatu letusan; dalam hal ini konsonan hambat itu disebut konsonan peletus atau konsonan eksplosif, misalnya konsonan p dalam kata pukul, lapar. Atau konsonan hambat itu dapat dilaksanakan dengan tidak ada letusan; maka hambat itu bersifat implosif, misalnya /t/ dalam kata berat, parit, dll.
Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa hambat eksplosif terdapat bila suatu konsonan hambat diikuti vokal, sedangkan konsonan hambat implosif terjadi bila konsonan hambat itu tidak diikuti vokal.
b. Frikatif (bunyi geser) , merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru digesekkan: /f/, /h/, dan /kh/.
c. Spiran, merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan diiringi bunyi desis: /s/, /z/, /sy/.
d. Likuida, atau disebut juga lateral , merupakan bunyi yang dihasilkan dengan mengangkat lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan keluat melalui kedua sisi: /l/.
e. Getar atau trill, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah ke alveolum atau pangkal gigi, kemudian lidah itu menjauhi alveolum lagi, dan seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat, sehingga udara yang keluar digetarkan. Bunyi ini, yang dihasilkan dengan ujung lidah sebagai artikulator disebut getar apikal . Di samping itu dalam Ilmu Bahasa dikenal pula semacam bunyi getar lain yang mempergunakan anak tekak sebagai artikulatornya, dan yang bertindak sebagai titik artikulasinya adalah belakang lidah. Konsonan getar macam ini disebut getar uvular . Getar apikal dilambangkan dengan /r/, sedangkan getar uvular secara fonetis dilambangkan dengan /R/.
3. Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan bersuara, jika pita suara turut bergetar: /b/, /d/, /n/, /g/, /w/, dan sebagainya.
b. Konsonan tak bersuara, jika pita suara tidak bergetar: /p/, /t/, /c/, /k/, dan sebagainya.
4. Berdasarkan jalan yang diikuti arus udara ketika keluar dari rongga ujaran, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan oral, jika udaranya keluar melalui rongga mulut: /p/, /b/, /k/, /d/, /w/ dan sebagainya.
b. Konsonan nasal, jika udaranya keluar melalui rongga hidung: /m/, /n/, /ny, /ng/.

·        Ejaan bahasa Indonesia
Huruf
Bagian terbesar dari sejarah umat manusia berada dalam kegelapan karena perkembangan, perluasan, timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka bumi ini tidak diketahui. Bangsa-bangsa dahulu kala tidak mengenal suatu cara untuk dapat meninggalkan kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-sumber yang tertulis baru saja diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu tahun saja.
Bukti-bukti tertulis itu dalam bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada orang-orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan lukisan menggambarkan kepada kita suatu peristiwa tertentu. Cara ini biassa disebut piktograf. Piktograf itu lambat laun dikembangkan sedemikian rupa hingga suatu lukisan dapat menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-kata yang berlainan tetapi mempunyai bunyi yang sama juga dapat dilukiskan dengan tanda atau simbol yang sama; sistem ini disebut ideograf atau logograf, yaitu suatu sistem dimana suatu kata dilambangkan oleh suatu tanda, misalnya dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem kita yang modern ini masih dapat ditemukan sistem logograf ini, yaitu bila kita melambangkan bilangan-bilangan memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan sebagainya.
Dari sistem ideograf atau logograf itu kemudian diturunkan bermacam-macam lambang yang mewakili suku kata saja. Contoh yang dapat dikemukakan adalah huruf-huruf Jepang, Dewa Negari, Arab dan lain-lain. Untuk menunjukkan vokal dalam huruf-huruf Arab dan Dewa Negari diberi tanda-tanda baru.perkembangan yang paling akhir sebagai penyempurnaan dari sistem perlambangan atas suku kata (silabis), adalah setiap bunyi dilambangkan dengan satu tanda. Sistem ini disebut fonemis , misalnya aksara Latin, Yunani, Jerman, dan sebagainya.
Dengan bermacam-macam cara itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam bentuk lambang-lambang. Segala macam cara itu pada umumnya disebut huruf.
Di antara sekian macam sistem itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang untuk satu bunyi adalah sistem yang paling baik. Dan untuk selanjutnya pengertian huruf yang akan dipakai adalah pengertian terakhir.
Jadi sejauh ini sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam sistem tulisan.
a. Tulisan piktograf: urutan beberapa gambar untuk melukiskan suatu peristiwa, misalnya pada orang Indian Mexico.
b. Ideograf atau logograf: suatu tanda atau lambang mewakili sepatah kata atau pengertian, misalnya huruf Cina.
c. Tulisan silabis: suatu tanda untuk menggambarkan suatu suku kata, misalnya tulisan Jepang, Dewa Negari, dan lain-lain.
d. Tulisan fonemis: satu tanda untuk melambangkan satu bunyi, misalnya huruf Latin, Yunani, Jerman dan lain-lain.
Batasan: Huruf adalah lambang atau gambaran dari bunyi .
Setiap sistem perlambangan bunyi-ujaran mempunyai urutan-urutan tertentu. Rentetan urutan sistem Latin lain dari Yunani dan lain pula dari urutan sistem Rusia. Rentetan huruf-huruf menurut sistem tertentu itu kita kenal dengan abjad atau alfabet . Jadi ada alfabet Latin, ada alfabet Yunani dan lain-lain.


 Ejaan
Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu bunyi-ujaran yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan dengan satu lambang tertentu. Dengan demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan mendekati kesempurnaan, walaupun kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam batas-batas ukuran kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi (penulisan) bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat diatasi. Sudah diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga memberi kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian antara, perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi hasil usaha itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus diulang oleh yang membacanya.
Segala macam tanda baca seperti yang disebut di atas disebut tanda baca atau pungtuasi.
Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu tanda). Di samping itu masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu terutama dalam mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang dilambangkan dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme dalam pengucapan.
Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita menulils seluruh kata di sana. Apakah kita harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.
Batasan: Keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.
Macam-Macam Ejaan
Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka, pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.
Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe tidak semuanya diganti dengan u. Baru pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe mulai 1 Januari 1949 diganti dengan u.
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitian dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.
Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:
Lama                    Yang Disempurnakan
                                      dj          djalan                j         jalan
                                       j          pajung               y          payung 
                                      nj          njonja               ny       nyonya
                                      sj*         sjarat               sy        syarat
                                      tj           tjakap               c         cakap
                                      ch*        tarich                kh       tarikh
* Kedua gabungan huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping itu diresmikan pula huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:
  f    maaf, fakir
  v    valuta, universitas
  z    zeni, lezat
  q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.                         















Tidak ada komentar:

Posting Komentar